Selasa, 08 Oktober 2013

Kemben Kumaimah



Sebuah surat datang atas nama seseorang. Ia sangat mengenalnya. Dengan pita warna sebagai pengikat emosinya. Kali ini pita itu berwarna biru.  
10 Oktober 1965- Mak, kau tak akan percaya jika nanti kuceritakan padamu. Kau tahu Jendral Borneo? Ia sangat baik padaku. Kemarin ia mengenalkanku pada para jendral Batalion, yang pernah kau ceritakan. Mereka masih sama seperti dulu. Masih genit. Padahal mereka sudah agak lapuk. Mak, meski waktu memisahkan kita teramat jauh, namun aku tetap menjaga apa yang pernah dulu kau sarankan padaku. Aku selalu ingat saat kau kali pertama memakaikanku kemben. Aku sempat brutal. Tapi  kau lebih brutal dari padaku. Dan akhirnya kau berhasil memasangnya juga di perut mungilku. Kau bilang karena dengan itu akan menjaga keseimbangan tubuhku. Kau bilang, biar aku tak segendut gajah bengkak. Haha.. jadi tergelitik untuk mengingatnya. Dan yang terakhir, karena akan merawat keperawananku. Yang pertama dan yang kedua masih dapat aku pahami, mak. Namun yang terakhir sedikit aku meraba-raba artinya. Hem, bukannya semua perempuan itu melakukan hal semacam itu baik gadis maupun janda. Tapi entah, zaman telah menelannya. Sekarang ada semacam istilah lain yaitu singlet atau semacam you can see. Namun aku baru menyadari bahwa hal itu adalah keberuntunganku untuk saat ini. Ia membawaku pada para jendral. Tampaknya ini bukan hanya untuk dirimu saja, Mak, namun juga untuk diriku. Sebentar lagi kepayahan akan terbayar, Mak. Bersabarlah.
Terkasihmu, Kumaimah.
***
Di sudut kamar, belaian angin menyeringai sebagian debu yang masih terlelap oleh bayangan senja. Putaran kemben memudar bersama bayangan waktu. Menikmati setiap untaian yang tergiring lepas. Derak jam berusaha untuk menganggu sepi. Namun sepertinya sudah terlanjur untuk memulangkan alfa dari saat terjaga. Tepatnya 10 tahun yang lalu.
“menjadi baik, bukan berarti harus berdekatan dengan orang yang kita kasihi, nak. Kau akan tahu alasannya mengapa mentari tak sedekat ini denganmu?” kata Mak seraya mengepalkan tangan dan menempelkanya di jidat Kumaimah.
“apakah Bapak tahu, apa yang kita akan lakukan, Mak? Semoga ia bahagia” dengan nada parau ia berusaha membujuk dirinya untuk tetap tegar. Mak, mengelus namun pandanganya lepas tertuju pada sebuah pintu di depannya. Menerka-nerka segala kemungkinan yang akan terjadi.
Hati siapa yang tak terpukul saat melihat tragedy pembunuhan. Terlebih itu adalah seorang yang kita cintai. Ya, waktu itu Kumaimah masih kelas 5 SR. Tepat dari sepulang sekolah. Ia mendengar keributan di gubuk samping sekolahnya. Naluri bocahnya pun bekerja seperti ingin menuntut panggilan dari rasa penasaran yang menghinggapinya. Langkah demi langkah pun ia lakukan dengan sangat teliti dan hati-hati. Tinggal beberapa langkah lagi, dan ia berusaha mengintip di sela-sela bilik gubuk yang berongga. Ada banyak orang yang berseragam hijau-coklat dengan senjata lengkap. Tak paham apa yang hendak mereka lakukan dengan seorang lelaki. Namun sorotan mata mereka hendak menerkam terjang. Ia belum sempat tahu siapa mereka. Sampai pada akhirnya ia akan tahu bahwa mereka adalah para TNI. Dan,,, Dhooorrrr!!! Peluru lepas kendali. Tepat di jantung seorang lelaki. “siapa yang menyuruh menembaknya, tolol?” desus salah satu mereka. “bukankah kita harus melenyapkan mereka dari bumi ini?” timpal yang lain. “bodoh, sekiranya kita punya tawanan yang dapat di mintai kabar.”
Mereka pun memutuskan meninggalkan jasat orang tersebut. Tapi lamat-lamat masih terdengar suara debat mereka. meninggalkan si mata-mata ulung. Sedang Kumaimah pun menjadi dingin dengan mata yang penuh dengan terkaan dan kepastian dari apa yang di lihatnya.
“Bapak!” suara perih kaku yang tertahan. Air mata pun tak mampu lagi terbendung.
***
Lipatan-lipatan Kemben jadi tak sadarkan diri terkapar di lantai. Kumaimah memintalnya dalam sebuah gulungan yang rapi. Agar sewaktu-waktu dapat dipakainya kembali. Sebab begitulah pesan Mak. Begitu pula pinta Borneo. Seorang Jendral yang tak sengaja ia mengenalnya di sebuah warung makan milik majikannya di ibu kota. Tampaknya ia selalu datang berniat menjumpai Kumaimah. Dalam pertemuan itu, akhirnya menyisakan perasaan simpati. Setelah Kumaimah melepas semua trauma masa lalunya. Namun bayanganya masih tersimpan dalam-dalam. Tentang sejarah orang tua Kumaimah. Jendral Borneo telah memberikannya rumah di bumi mariner. Alasanya ia sudah kelebihan rumah. Itu adalah kado yang terindah bagi seukuran Dere seperti Kumaimah. Jendral Bornoe rela memberikannya sepenuh hati. Sebab Kumaimah bukanlah seorang gajah bengkak yang selalu menuntut tagihan belanja seperti istrinya. Biarpun hanya seorang dere, Ia berbeda dengan dere-dere yang lain. Ia adalah orang yang setia pada satu Ndoronya. Setiap acara Borneo selalu mengajak Kumaimah. Dan ia pun akhirnya dikenalkan dengan kawan-kawan jendral. Mereka pun jadi akrab.
***
“aku sudah mengantarkan mereka, Borneo. Seperti pintamu. Mereka agaknya terlelap selepas kudongengi tentang Cuk, pahlawan favoritmu..” memandangi langit yang selalu berganti background.
Perkenalan Kumaimah dengan para jendral itu lalu berakhir di sebuah sumur. Masih dengan kebaya dan kemben Mak-nya. Dan sampai kapan pun ia selalu memakainya. 1 Oktober 1965 baru tersiar kabar bahwa ada tujuh orang jendral mendekam di dalamnya. Dengan kondisi jasat yang teramat sadis.
 “dalam perang, jangan pernah sekalipun melibatkan perasaan, sebab perang bukan persoalan emosi namun kehormatan, bukankah itu yang selalu kau ajarkan padaku setiap malam, Borneo?” ia mengelus kepala seorang jendral seolah mengelus seorang anak yang terbuai dalam pangkuan ibunya.  Bornoe tetap terlelap dengan pejaman yang penuh dengan kepuasan. Sebab Kumaimah sudah terlampau pandai darinya. Namun entah sampai kapan pejaman akan membuka tabir kepalsuan. Sekian…                        
Surabaya, 8 Oktober 2013