Sebuah surat datang atas nama
seseorang. Ia sangat mengenalnya. Dengan pita warna sebagai pengikat emosinya.
Kali ini pita itu berwarna biru.
10 Oktober 1965- Mak,
kau tak akan percaya jika nanti kuceritakan padamu. Kau tahu Jendral Borneo? Ia
sangat baik padaku. Kemarin ia mengenalkanku pada para jendral Batalion, yang
pernah kau ceritakan. Mereka masih sama seperti dulu. Masih genit. Padahal
mereka sudah agak lapuk. Mak, meski waktu memisahkan kita teramat jauh, namun
aku tetap menjaga apa yang pernah dulu kau sarankan padaku. Aku selalu ingat saat
kau kali pertama memakaikanku kemben. Aku sempat brutal. Tapi kau lebih brutal dari padaku. Dan akhirnya kau
berhasil memasangnya juga di perut mungilku. Kau bilang karena dengan itu akan
menjaga keseimbangan tubuhku. Kau bilang, biar aku tak segendut gajah bengkak. Haha..
jadi tergelitik untuk mengingatnya. Dan yang terakhir, karena akan merawat
keperawananku. Yang pertama dan yang kedua masih dapat aku pahami, mak. Namun yang
terakhir sedikit aku meraba-raba artinya. Hem, bukannya semua perempuan itu
melakukan hal semacam itu baik gadis maupun janda. Tapi entah, zaman telah
menelannya. Sekarang ada semacam istilah lain yaitu singlet atau semacam you
can see. Namun aku baru menyadari bahwa hal itu adalah keberuntunganku untuk
saat ini. Ia membawaku pada para jendral. Tampaknya ini bukan hanya untuk
dirimu saja, Mak, namun juga untuk diriku. Sebentar lagi kepayahan akan
terbayar, Mak. Bersabarlah.
Terkasihmu, Kumaimah.
***
Di sudut kamar, belaian angin
menyeringai sebagian debu yang masih terlelap oleh bayangan senja. Putaran
kemben memudar bersama bayangan waktu. Menikmati setiap untaian yang tergiring
lepas. Derak jam berusaha untuk menganggu sepi. Namun sepertinya sudah
terlanjur untuk memulangkan alfa dari saat terjaga. Tepatnya 10 tahun yang
lalu.
“menjadi baik, bukan berarti harus
berdekatan dengan orang yang kita kasihi, nak. Kau akan tahu alasannya mengapa
mentari tak sedekat ini denganmu?” kata Mak seraya mengepalkan tangan dan
menempelkanya di jidat Kumaimah.
“apakah Bapak tahu, apa yang kita akan
lakukan, Mak? Semoga ia bahagia” dengan nada parau ia berusaha membujuk dirinya
untuk tetap tegar. Mak, mengelus namun pandanganya lepas tertuju pada sebuah
pintu di depannya. Menerka-nerka segala kemungkinan yang akan terjadi.
Hati siapa yang tak terpukul saat
melihat tragedy pembunuhan. Terlebih itu adalah seorang yang kita cintai. Ya,
waktu itu Kumaimah masih kelas 5 SR. Tepat dari sepulang sekolah. Ia mendengar
keributan di gubuk samping sekolahnya. Naluri bocahnya pun bekerja seperti
ingin menuntut panggilan dari rasa penasaran yang menghinggapinya. Langkah demi
langkah pun ia lakukan dengan sangat teliti dan hati-hati. Tinggal beberapa
langkah lagi, dan ia berusaha mengintip di sela-sela bilik gubuk yang berongga.
Ada banyak orang yang berseragam hijau-coklat dengan senjata lengkap. Tak paham
apa yang hendak mereka lakukan dengan seorang lelaki. Namun sorotan mata mereka
hendak menerkam terjang. Ia belum sempat tahu siapa mereka. Sampai pada akhirnya
ia akan tahu bahwa mereka adalah para TNI. Dan,,, Dhooorrrr!!! Peluru lepas
kendali. Tepat di jantung seorang lelaki. “siapa yang menyuruh menembaknya,
tolol?” desus salah satu mereka. “bukankah kita harus melenyapkan mereka dari
bumi ini?” timpal yang lain. “bodoh, sekiranya kita punya tawanan yang dapat di
mintai kabar.”
Mereka pun memutuskan meninggalkan
jasat orang tersebut. Tapi lamat-lamat masih terdengar suara debat mereka. meninggalkan
si mata-mata ulung. Sedang Kumaimah pun menjadi dingin dengan mata yang penuh
dengan terkaan dan kepastian dari apa yang di lihatnya.
“Bapak!” suara perih kaku yang
tertahan. Air mata pun tak mampu lagi terbendung.
***
Lipatan-lipatan Kemben jadi tak
sadarkan diri terkapar di lantai. Kumaimah memintalnya dalam sebuah gulungan
yang rapi. Agar sewaktu-waktu dapat dipakainya kembali. Sebab begitulah pesan
Mak. Begitu pula pinta Borneo. Seorang Jendral yang tak sengaja ia mengenalnya
di sebuah warung makan milik majikannya di ibu kota. Tampaknya ia selalu datang
berniat menjumpai Kumaimah. Dalam pertemuan itu, akhirnya menyisakan perasaan
simpati. Setelah Kumaimah melepas semua trauma masa lalunya. Namun bayanganya
masih tersimpan dalam-dalam. Tentang sejarah orang tua Kumaimah. Jendral Borneo
telah memberikannya rumah di bumi mariner. Alasanya ia sudah kelebihan rumah.
Itu adalah kado yang terindah bagi seukuran Dere seperti Kumaimah. Jendral
Bornoe rela memberikannya sepenuh hati. Sebab Kumaimah bukanlah seorang gajah
bengkak yang selalu menuntut tagihan belanja seperti istrinya. Biarpun hanya seorang
dere, Ia berbeda dengan dere-dere yang lain. Ia adalah orang yang setia pada
satu Ndoronya. Setiap acara Borneo selalu mengajak Kumaimah. Dan ia pun
akhirnya dikenalkan dengan kawan-kawan jendral. Mereka pun jadi akrab.
***
“aku sudah mengantarkan mereka,
Borneo. Seperti pintamu. Mereka agaknya terlelap selepas kudongengi tentang
Cuk, pahlawan favoritmu..” memandangi langit yang selalu berganti background.
Perkenalan Kumaimah dengan para
jendral itu lalu berakhir di sebuah sumur. Masih dengan kebaya dan kemben Mak-nya.
Dan sampai kapan pun ia selalu memakainya. 1 Oktober 1965 baru tersiar kabar
bahwa ada tujuh orang jendral mendekam di dalamnya. Dengan kondisi jasat yang
teramat sadis.
“dalam perang, jangan pernah sekalipun
melibatkan perasaan, sebab perang bukan persoalan emosi namun kehormatan,
bukankah itu yang selalu kau ajarkan padaku setiap malam, Borneo?” ia mengelus kepala
seorang jendral seolah mengelus seorang anak yang terbuai dalam pangkuan
ibunya. Bornoe tetap terlelap dengan pejaman
yang penuh dengan kepuasan. Sebab Kumaimah sudah terlampau pandai darinya. Namun
entah sampai kapan pejaman akan membuka tabir kepalsuan. Sekian…
Surabaya, 8 Oktober 2013