Selasa, 03 Desember 2013

KPK: (Komisi Pemberantasan Korupsi / Korupsi Pemberantas Korupsi)??

Agaknya saya kurang yakin dengan anggapan bahwa KPK dapat menjadi mascot pemberantasan korupsi. Pasalnya kita sudah melihat dan menyadari bahwa yang sebenarnya menjadi malaikat justru malah menjadi iblis masyarakat yang mengancam kesejahteraan umat. KPK rupanya main caplok saja. Seperti pada kasus Nurdin Nasution. Agaknya menjadi evaluasi besar bagi kita semua, agar lebih waspada terhadap orang yang akan kita pilih nantinya untuk kemaslahatan umat. Sesuai dengan KBBI 2010 yang saya punya, komisi memiliki arti dua kemungkinan yang pertama adalah orang yang ditugasi oleh Negara dalam menangani suatu hal. Kedua, adalah imbalan (uang) atau persentase tertentu yang dibayarkan karena jasa yang diberikan dalam jual beli. Namun apa yang menjadi maksud dari aplikasinya dari realita? Entahlah pengertian mana di pakai. Hanya hati kalianlah yang akan menilai itu semua. Itu pun jika kalian masih punya hati untuk menilai. Saya harap itu bukan maksudku. Kembali lagi ke bahasan kita. Sejak awal saya sangat rancu terhadap KPK. Apa itu KPK? Semacam komplotan seperti apa mereka? Atau mereka adalah malaikat maut yang siap mengintai kebahagian orang lain demi sebuah tujuan tuhan. Atau apakah mereka mengakui bahwa diri merekalah yang tuhan. Ah, entahlah. Berbicara tentang tuhan dan malaikat, saya teringat dengan film City of Angle. Meski bukan saya yang nonton tapi saya adalah pendengar yang baik dari synopsis teman. Jalan ceritanya sangat menarik. Ceritanya berawal dari seorang (saya tak bisa menjelaskan malaikan sebagai jenis apa. Hanya itu yang lebih amannya, sebab dalam film ini ia jadi manusia) malaikat kematian datang ke bumi hendak menjemput nyawa dari seorang dokter bedah. Dalam kisahnya ia menjadi seorang laki-laki dingin yang diam-diam mencintai dokder bedah. Segala upaya ia lakukan agar ia dapat menghibur dokter bedah tersebut, sebab si dokter bedah tersebut baru saja menghilangkan nyawa pasiennya akibat kecerobohannya. Ia kemudian sangat mengutuk kematian, sebab ia tak memberikan kesempatan sedikitpun untuk mengulur waktunya. Keduannya kemudian menjalani kisah cinta yang romantis. Namun kisah tersebut berakhir miris. Ya, itulah sedikit cuplikan kisah dari City of Angle yang melankolis. Yang tak jauh beda dengan nasib negeri nano nano ini. Jika dalam film City of Angle, malaikat kematian dapat menegosiasi nyawa seorang dokter bedah sebab ada faktor cinta maka di negeri segala luka ini masyarakat hanya mendapati foktor bullying yang di perankan oleh aparat perwakilan rakyat atau pejabat pemerintahannya. Kita hanya butuh cinta yang hakiki dari penduduk negeri ini bukan bullying atau penghianatan yang di selimuti angan-angan yang muluk. Saya tahu sebagian mereka pernah mencicipi bangku kuliah semasa hidupnya. Pastinya mereka juga mengalami kondisi kacau balau 1998 negeri ini semasa kepemimpinan Soeharto. Dan sebagian besar mereka juga adalah pelopor, penggerak demo masa kejayaan mahasiswa tersebut dengan keangkuhan-keangkuan mereka dalam mengkritik kebijakan pemerintah. Tapi apa yang telah mereka lontarkan sekarang hanya menjadi buih yang ditiup angin entah kemana pergi. Semua hanya dapat mengheningkan cipta masing-masing. Apalagi dengan adanya Pendidikan Karakter yang akhir-akhir ini di galakkan, pastinya generasi bangsa kita akan menjadi semakin sadar diri dengan kebutuhan bangsanya akan pemimpin yang adil, arif dan bijaksana, bukan pemimpin yang makmur tapi rakyatnya jadi jamur. Dan lagi, bukan hanya masyarakat saja yang menjadi sasaran program tersebut, tapi juga para petinggi kita wajib berpendidikan karakter.

Selasa, 08 Oktober 2013

Kemben Kumaimah



Sebuah surat datang atas nama seseorang. Ia sangat mengenalnya. Dengan pita warna sebagai pengikat emosinya. Kali ini pita itu berwarna biru.  
10 Oktober 1965- Mak, kau tak akan percaya jika nanti kuceritakan padamu. Kau tahu Jendral Borneo? Ia sangat baik padaku. Kemarin ia mengenalkanku pada para jendral Batalion, yang pernah kau ceritakan. Mereka masih sama seperti dulu. Masih genit. Padahal mereka sudah agak lapuk. Mak, meski waktu memisahkan kita teramat jauh, namun aku tetap menjaga apa yang pernah dulu kau sarankan padaku. Aku selalu ingat saat kau kali pertama memakaikanku kemben. Aku sempat brutal. Tapi  kau lebih brutal dari padaku. Dan akhirnya kau berhasil memasangnya juga di perut mungilku. Kau bilang karena dengan itu akan menjaga keseimbangan tubuhku. Kau bilang, biar aku tak segendut gajah bengkak. Haha.. jadi tergelitik untuk mengingatnya. Dan yang terakhir, karena akan merawat keperawananku. Yang pertama dan yang kedua masih dapat aku pahami, mak. Namun yang terakhir sedikit aku meraba-raba artinya. Hem, bukannya semua perempuan itu melakukan hal semacam itu baik gadis maupun janda. Tapi entah, zaman telah menelannya. Sekarang ada semacam istilah lain yaitu singlet atau semacam you can see. Namun aku baru menyadari bahwa hal itu adalah keberuntunganku untuk saat ini. Ia membawaku pada para jendral. Tampaknya ini bukan hanya untuk dirimu saja, Mak, namun juga untuk diriku. Sebentar lagi kepayahan akan terbayar, Mak. Bersabarlah.
Terkasihmu, Kumaimah.
***
Di sudut kamar, belaian angin menyeringai sebagian debu yang masih terlelap oleh bayangan senja. Putaran kemben memudar bersama bayangan waktu. Menikmati setiap untaian yang tergiring lepas. Derak jam berusaha untuk menganggu sepi. Namun sepertinya sudah terlanjur untuk memulangkan alfa dari saat terjaga. Tepatnya 10 tahun yang lalu.
“menjadi baik, bukan berarti harus berdekatan dengan orang yang kita kasihi, nak. Kau akan tahu alasannya mengapa mentari tak sedekat ini denganmu?” kata Mak seraya mengepalkan tangan dan menempelkanya di jidat Kumaimah.
“apakah Bapak tahu, apa yang kita akan lakukan, Mak? Semoga ia bahagia” dengan nada parau ia berusaha membujuk dirinya untuk tetap tegar. Mak, mengelus namun pandanganya lepas tertuju pada sebuah pintu di depannya. Menerka-nerka segala kemungkinan yang akan terjadi.
Hati siapa yang tak terpukul saat melihat tragedy pembunuhan. Terlebih itu adalah seorang yang kita cintai. Ya, waktu itu Kumaimah masih kelas 5 SR. Tepat dari sepulang sekolah. Ia mendengar keributan di gubuk samping sekolahnya. Naluri bocahnya pun bekerja seperti ingin menuntut panggilan dari rasa penasaran yang menghinggapinya. Langkah demi langkah pun ia lakukan dengan sangat teliti dan hati-hati. Tinggal beberapa langkah lagi, dan ia berusaha mengintip di sela-sela bilik gubuk yang berongga. Ada banyak orang yang berseragam hijau-coklat dengan senjata lengkap. Tak paham apa yang hendak mereka lakukan dengan seorang lelaki. Namun sorotan mata mereka hendak menerkam terjang. Ia belum sempat tahu siapa mereka. Sampai pada akhirnya ia akan tahu bahwa mereka adalah para TNI. Dan,,, Dhooorrrr!!! Peluru lepas kendali. Tepat di jantung seorang lelaki. “siapa yang menyuruh menembaknya, tolol?” desus salah satu mereka. “bukankah kita harus melenyapkan mereka dari bumi ini?” timpal yang lain. “bodoh, sekiranya kita punya tawanan yang dapat di mintai kabar.”
Mereka pun memutuskan meninggalkan jasat orang tersebut. Tapi lamat-lamat masih terdengar suara debat mereka. meninggalkan si mata-mata ulung. Sedang Kumaimah pun menjadi dingin dengan mata yang penuh dengan terkaan dan kepastian dari apa yang di lihatnya.
“Bapak!” suara perih kaku yang tertahan. Air mata pun tak mampu lagi terbendung.
***
Lipatan-lipatan Kemben jadi tak sadarkan diri terkapar di lantai. Kumaimah memintalnya dalam sebuah gulungan yang rapi. Agar sewaktu-waktu dapat dipakainya kembali. Sebab begitulah pesan Mak. Begitu pula pinta Borneo. Seorang Jendral yang tak sengaja ia mengenalnya di sebuah warung makan milik majikannya di ibu kota. Tampaknya ia selalu datang berniat menjumpai Kumaimah. Dalam pertemuan itu, akhirnya menyisakan perasaan simpati. Setelah Kumaimah melepas semua trauma masa lalunya. Namun bayanganya masih tersimpan dalam-dalam. Tentang sejarah orang tua Kumaimah. Jendral Borneo telah memberikannya rumah di bumi mariner. Alasanya ia sudah kelebihan rumah. Itu adalah kado yang terindah bagi seukuran Dere seperti Kumaimah. Jendral Bornoe rela memberikannya sepenuh hati. Sebab Kumaimah bukanlah seorang gajah bengkak yang selalu menuntut tagihan belanja seperti istrinya. Biarpun hanya seorang dere, Ia berbeda dengan dere-dere yang lain. Ia adalah orang yang setia pada satu Ndoronya. Setiap acara Borneo selalu mengajak Kumaimah. Dan ia pun akhirnya dikenalkan dengan kawan-kawan jendral. Mereka pun jadi akrab.
***
“aku sudah mengantarkan mereka, Borneo. Seperti pintamu. Mereka agaknya terlelap selepas kudongengi tentang Cuk, pahlawan favoritmu..” memandangi langit yang selalu berganti background.
Perkenalan Kumaimah dengan para jendral itu lalu berakhir di sebuah sumur. Masih dengan kebaya dan kemben Mak-nya. Dan sampai kapan pun ia selalu memakainya. 1 Oktober 1965 baru tersiar kabar bahwa ada tujuh orang jendral mendekam di dalamnya. Dengan kondisi jasat yang teramat sadis.
 “dalam perang, jangan pernah sekalipun melibatkan perasaan, sebab perang bukan persoalan emosi namun kehormatan, bukankah itu yang selalu kau ajarkan padaku setiap malam, Borneo?” ia mengelus kepala seorang jendral seolah mengelus seorang anak yang terbuai dalam pangkuan ibunya.  Bornoe tetap terlelap dengan pejaman yang penuh dengan kepuasan. Sebab Kumaimah sudah terlampau pandai darinya. Namun entah sampai kapan pejaman akan membuka tabir kepalsuan. Sekian…                        
Surabaya, 8 Oktober 2013   

Jumat, 26 Juli 2013

Deorama Meena




Perjalanan panjang seakan menyisakan banyak tenaga bagiku untuk semakin berkarya. Bukan sebuah malapetaka jika seseorang berani berbuat dan menanggung resiko untuk pilihan mereka hidup di bumi. Namun yang jelas kerja keras dan berusahalah yang akan menuntun jalan kemana mereka akan pergi.

(AKU)
Aku cemburu
04/10/2012-23:41
Aku cemburu pada air mata yang jatuh membasahi liang pipimu yang lembut dan gempal, sebab ku tak bisa menjarah diatasnya. Dan aku bukan airmatamu. Aku air mata larasati.
Aku cemburu pada jepit rambutmu yang kian hari tampak bermacam bertenger serupa kembang songgo siji, sebab ku tak mampu menyela menutup ubanmu. Aku kejujuran
Aku cemburu pada lipstick menawan di bibirmu, merah saga serupa delima meranum. Sebab tak sanggupku menoreh keretakan lafalmu. Karenaku kebenaran

Leksem
Sabtu, 8 sebtember 2012
ribuan bulan jadi menunggu
janji leksem-leksem ganjil
sempat terpahat maret lalu
bersama dengan seniman
dengannya bertafakur pada kalam
arti dan muhasabahku
rela terayun dalam bandul jam semesta
tapi kau punya tafsiran lain dari pada itu.

Bara nil
senin, 11 September 2012
berkalam dengan riak Yamuna
saat senandung angin lamat-lamat diperdengarkan
rintikkan hujan terluka jatuh
teracuhkan, dari atap-atap seng teyeng
gemericik melagu rindu dahaga
hinggap melukai renungan Nil
tak berdaya menahan fosil-fosil perahu Nuh
dan angin semakin tak peduli
saat lafaz-lafaz menggaung dalam jilatan bara
dan mencari pusaran dari segala sudut

yalamlam ….
Kiblatku mengeliar, mengrong-rong bertandang
hingga tandus enggan mengeringkan tataan bumi
Angin baratpun tak bernafsu ingin pulang
nil sepi... alirnya melambai menali angkasa.
"pulangkan saja ke asalku" pintanya.


Burung maya
senin, 11 September 2012
kemana pergi burung-burung hutang nyanyian pagi tadi
yang jua berisalah kelam tiba
kini hilang, pergi, menyelundup entah kemana
tinggal kutunya yang sangat garang mengunyah
separuh waktu yang renta enyah berpulang ke haribanya

mereka bergelayut pada bulu-bulu detik
berkeliar di ujung gerimis tipis
dalam maya mereka bertwit-twit
dan melupa pada kidung agung sang perempuan


rupanya ia berlari membawa semburat senja.
hingga semua jadi menunggu fajar tiba

berlari aku ada.
bersemedi dalam raga.
bernyanyi pada sepi.

<pinggiran waktu>


Aku hari ini
12 September 2012
aku hari ini adalah kepompong, bersembunyi sementara waktu saat semua berpaling menyincing mata.
aku hari ini adalah bulan sabit, senyum tipis terpancar menunggu kapan jadi purnama.
aku hari ini adalah kantil, menanti mekar saat fajar tiba.



Purnama melankolis
Minggu, 21 oktober 2012 (22.35)

seteguk cairan purnama melankolis.
bersama
nya berlayar dalam cangkir di lautan bir.
semesta
pun sakau.

apa yang bisa dilakukan malam.
logika pun ter
kapar dalam persangka. Lenyap. Dramatis.
namun
kepergian menyisakan tarian pada bibir
yang melarikan anak-anak bumi putra.
kau
lah jadi penawar raga-raga mereka.

kelakar hitam nan bening jadi penuntunmu
di beranda perempuan-perempuan bertudung melempar kata
menampar dari sisi gelapnya
menamai setiap pelarian-pelarian rindu dalam tiap malamnya.

Basah, purnama jadi melankolis

Janin mata
senin, 22 Oktober 2012
terlahiran janin-janin mata.
Bertumbuh, merangkak, menjelajahi bukit meranum.
Hadirnya terluput pada lebah yang terkatung di kuncup bunga menunggu rekah. melunturkan sari pati mahkota raja. Raja mencari kedelai sebagai pengganti mahkota.
ia mencari jalannya. jelajahi mayangkara.
Bibir kita pun bertemu pada mangkuk pengail dalam diam nafas yang terkantuk.
sebab masa lalu takkan pernah berniat merindumu. lantas kau bertarung asa.


Penginosen
Minggu,03 November 2012
malam jadi penginosen.., mak
seperti balita kencing sembarangan
dicelana. lantas emak tersenyum pasi.
dia melarikan kediamannya.
gelisah angin membawa bau-baumu
seperti kemarau menyuluk hujan
akupun mendekap dalam
<icikiwir>



Selasa, 06 November 2012
Kabarnya tuyul sekarang bertanduk
tanduknya kian berat.
mencari semerah darah yang menggemaskan.
pada para pelari onak di atas sukma bumi
kemana pelana kuda berlari? yang jua bernafsu pada peluhnya.
"silahkan rajami tubuhmu, biar lekat dalam nikmat karena dosa"
kelak akan kukabarkan.
bila ia sudah masak dan meranum.
petiklah dan nikmati sesukamu.
selama hari bukan kemudian.

(2012)
Kepada angin. Yang telah mengisi Malam agar dapat memeluk dalam nikmat yang aneh. Disini, telah terkabarkan pada branda purnama, ada malaikat yang menyerupai manusia datang dengan membawa secawan tinta. Katanya, untuk melukis pagi, karena yang ia tahu hanya malam. tapi kenapa ia menginginkannya? Malampun larut bersama mimpi seorang gadis yang bermata senja. Rupanya gadis tersebut tertidur sesaat setelah ia membaca cerita Novalis dan mencoba memimpikannya, bayang bunga biru yang sendu. “bagaimana bila kau mimpi di surga dan menemukan bunga” kata filsuf tersebut.
“Akan kutemukan untukmu”, kata gadis bermata senja itu.

(2012)
ia datang dengan atas nama UBLEK.
dengan pekat yang merambat pada bau-bauan malam
tapi aku tak sendiri menikmati

ada kelinci,
kucing
juga anjing
dalam kelam mereka berdiskusi, katanya ingin bertukar makan.
namun mereka berkoalisi dengan UBLEK dan menjadi bayangan manusia.

Senin, 22 juli 2013
andai kematian itu dapat di peluk, akan kudekapnya lebih erat dan hangat. hingga nafasnya dan nafasku bertemu, menyembul bagai uap bumii kembali kelaut.

Sabtu, 20 juli 2013
aku telah begitu banyak berpuisi, hingga aku brwujud puisi itu sendiri. orang yang melihat diriku meminta puisi dariku
(teruntuk chairil)

19 juli 2013
beregam pengabdian yang diberikan anak pada orang tuanya salah satunya menebus dosa orang tuanya dengan air mata. kau tau air mata tak dapat bicara. tapi ia punya banyak kata.

16 Juli 2013 pukul 14:11
Kulihat awan sedang terbungkus dengan sinar kuning. Saat itu Kau dan aku tegak berdiri memandang lepas samudra hindia yang berkawin dengan awan. Lantas kita menertawakan katung perahu yang di permainkan sang ombak.  Dan kita mencandai kerang-kerang yang akan kita tangkap sebagai santapan sore itu. Kau telah mengajariku cara menangkap kerang dengan benar. Dengan memperdengarkan gesekan kerang-kerang yang sudah kita dapat pada calon kerang yang akan kita tangkap. (hahaha) Maaf,  waktu itu aku menertawaimu, aku benar-benar geli dengan kelakuanmu waktu itu. Pasalnya cara itu sungguh aneh. Mana ada kerang yang dapat mendengar puji-pujian, karena memang kerang tak memiliki kuping. Namun kali itu aku patuh sepatuh anak kecil dan sedikit mengernyitkan dahi. Maaf, tuhan kali ini aku sedang tolol.
mungkin rasa ini tuna daya
dan cinta adalah persakitan yang melenyapkan dosa
apakah perlu kata
atau lidah, karena hati telah menyatukanya.
Aku merasa bahwa diriku benar-benar hilang
aku tak menemukan diriku pada ingatan
hampa di dalam botol suci



Dandelion
19 Januari 2013 pukul 16:54

kabari aku sekali lagi. Sin
tentang dandelion kecil yang tersamat,
pada celah reranting.

ini, aku sedang membawa bayangannya
bahwa badai sebentar lagi datang
membawanya berhijrah pada lajur yang disuka
kelak, Sin

sendu akan jadi sadiwara angin
luka akan jadi penawar stepa
itu, masihku menunggu ribu kebenaran lain.
tentang angin yang membawanya lari.

mungkin pada stepa ia mengabdi
mungkin pada angin ia mengingkari
juga pada surya ia mempelajari

sekali terang redub pada ciuman angin

tertitipkanlah seribu bekas
yang menjelma lautan janin
dan kembali angin semakin gemas
menelurkanya pada kepala bumi
agar menutupi kebotakan
merindu pada musik alam pertama.



(Dia)
Sebentar lagi…
Surabaya, 25 Desember 2011

Kapan.
Peluru kan menembus pada epidermis safana,
Biar mengguncang, biar tak ada arti keindahan.
Hanya akan terlibat pada pengagum selain tuhan.

Constatinopel sudah terlampau dalam ringkuk efel,
Pelabuhan akan segera berpindah…
Sebentar lagi…

Bawa orang tuamu, kekasihMu, dalam tangan keabadian
Hanya itu…
Untuk mereka yang bahagia dalam kesedihan dunia.




Aku Waktu Lalu
Surabaya, 25 Desember 2011

Benar apa kata mu.
Aku tak sedang bermimpi.
Saat kau cerita bahwa ditanganMu,
tidak ada lagi pengemis kematian,

Selain para pejuang yang mati di medan perang.
Aku telah ada sebelum kalian pergi.

Aku adalah waktu lampau.
Dulu hampir hilang bersama peluru yang menembus kulitmu.
Aku waktu lalu
Pergi untuk riwayat semesta,
pulang untuk para pengembira.
Adakah yang mau bergembira untukKu?


Tiga Kuncup Kamboja
Surabaya, 29 Februari 2012 (14:19)
Mereka telah pergi…
Hinggap pada buliran nokta.
Kemenyan melebur rindu kematian
Mengundang kala ikut bergurau

Tanpa kata…
Tiga kuncup kamboja,
Yang  telantar di atas aspal.
Keriput dan tak semringah.
Menghafal nomer sepatu
Yang baru saja menginjaknya…

40…   
(matikan lampu! pertautan waktu, membuat mereka bernomer absurd)


Surabaya, 25 Desember 2011
Kami datang bersama angin timur
Melewati hampir semua kepala-kepala manusia yang rela kami hinggapi
Bahkan kami pernah melewati hati mereka.
Tapi aku tak abadi di daftar riwayatnya…




Hom Pim Paa…
29/02/12-14:32

Hom.. Pim.. Paaa…

Menang jadi arang,
Kalah jadi abu…

Siang itu aku bertemu dengan kambing diselasar gubuk bertingkat. Kambing jantan yang lemah saat aku meminta untuk segera mencoret namanya di punggungku. Seloroh matanya kaku, dan memang tak bertulang besi. Berbeda dengan politikus-politikus Negara. Hanya bergerak bila ada magnet koalisi terkutuk yang penuh dengan lembar-lembar palsu. Sudahlah memang itu bukan masalah yang perlu ditutupi. Malah sekarang sudah berlebeling rahasia umum.  Kembali pada kambing jantan. Aku berusaha mendekat, ia mengacuhkanku dan bermain sesukanya dengan sayap-sayap laron yang menempel di gedek. Laron yang malang, dua hari yang lalu dengan tragis menabrakan dirinya di dinding gubuk. Dan diakhir riwayatnya ia harus rela melihat sayapnya teraniaya oleh kambing jantan yang duduk bersamaku. Dibayang. Tempat kami bercengkrama dengan waktu.



Maria, itu aku!
Rabu, 24 Juli 2013

Kau tahu?,
Kadang kala aku ingin menjadi sebuah gunung yang menutup segala rasa emosi sampai pada waktu memanggilnya
Kadang kala aku ingin jadi angin yang menyisir lembut anak rambutmu
Kadang kala aku ingin jadi cermin yang kau padankan sepanjang waktu
Kadang kala aku ingin jadi udara yang kau hirup dalam-dalam setiap paginya
Kadang kala aku ingin jadi buku harianmu yang kau toreh keluh kesahmu
Aku mengutuk diri pada tanaman pakis yang kau sirami setiap pagi
Mengutuki telegram yang kau pencet-pencet tubuhnya
Mengutuki rambut yang selalu kau plintir-plitir setiap kau mengeniti surya
Mengutuki lagu yang kau suka
Entahlah
Aku jadi tak suka
Kau ajari aku jadi pendendam, Maria.
mendendami hal yang kau suka
kau adalah segala bunyian kerinduan
kau tahu, diam-diam aku telah belajar jadi gunung, angin, cermin, udara dan buku harianmu
bahkan aku telah bersembunyi dalam mimpmimu.
“maaf telah membuatmu bosan bercinta denganku”.

(untuknya)
Pernah suatu senja berkata padaku, tentang pohon-pohon yang tafakur melihatmu, angin telah mengirimkan suluk, semakin dalam keliang dengarmu, seperti nyanyian-nyanyian investigasi saat perang dunia II. Kau lantas beroase dalam kegamangan.
Selagi kau masih disini, memandang sang pemilik wajah kotak dengan mata belang yang mengajakku berdiskusi malam tadi, perlahan menyimpan sejuta candu. Dan aku pun semakin sakau berpuisi.
Kau angin dan aku awan. Berjalan beriring, berirama dalam nokta semesta. Pula aku kirimkan secawan gerimis, nikamatilah disetiap nampan pagi. Agar semakin basah. Hingga embun pun turun tiba-tiba. Menengelamkanmu dan juga diriku…
Kita bukan hidup kesendirian dalam virtual. Masih ada waktu dalam temuan malam kelabu seperti kemarin. Aku juga dirimu. Dalam secangkir kopi yang sama.

Kamar manis kontrakan Qonitat, 23 Juni 2012
Teruntuk Butet, sastrawan Pacitan yang sedang gamang terhadap lain hatinya. J