berfikir karena hidup, berkarya karena usia. wujud atau tidak akan jadi abdi dari hidup. jadi ada dalam ketiadaan. nikmatilah, karena dunia begitu menawan.
Selasa, 03 Desember 2013
KPK: (Komisi Pemberantasan Korupsi / Korupsi Pemberantas Korupsi)??
Agaknya saya kurang yakin dengan anggapan bahwa KPK dapat menjadi mascot pemberantasan korupsi. Pasalnya kita sudah melihat dan menyadari bahwa yang sebenarnya menjadi malaikat justru malah menjadi iblis masyarakat yang mengancam kesejahteraan umat. KPK rupanya main caplok saja. Seperti pada kasus Nurdin Nasution. Agaknya menjadi evaluasi besar bagi kita semua, agar lebih waspada terhadap orang yang akan kita pilih nantinya untuk kemaslahatan umat. Sesuai dengan KBBI 2010 yang saya punya, komisi memiliki arti dua kemungkinan yang pertama adalah orang yang ditugasi oleh Negara dalam menangani suatu hal. Kedua, adalah imbalan (uang) atau persentase tertentu yang dibayarkan karena jasa yang diberikan dalam jual beli. Namun apa yang menjadi maksud dari aplikasinya dari realita? Entahlah pengertian mana di pakai. Hanya hati kalianlah yang akan menilai itu semua. Itu pun jika kalian masih punya hati untuk menilai. Saya harap itu bukan maksudku. Kembali lagi ke bahasan kita.
Sejak awal saya sangat rancu terhadap KPK. Apa itu KPK? Semacam komplotan seperti apa mereka? Atau mereka adalah malaikat maut yang siap mengintai kebahagian orang lain demi sebuah tujuan tuhan. Atau apakah mereka mengakui bahwa diri merekalah yang tuhan. Ah, entahlah. Berbicara tentang tuhan dan malaikat, saya teringat dengan film City of Angle. Meski bukan saya yang nonton tapi saya adalah pendengar yang baik dari synopsis teman. Jalan ceritanya sangat menarik.
Ceritanya berawal dari seorang (saya tak bisa menjelaskan malaikan sebagai jenis apa. Hanya itu yang lebih amannya, sebab dalam film ini ia jadi manusia) malaikat kematian datang ke bumi hendak menjemput nyawa dari seorang dokter bedah. Dalam kisahnya ia menjadi seorang laki-laki dingin yang diam-diam mencintai dokder bedah. Segala upaya ia lakukan agar ia dapat menghibur dokter bedah tersebut, sebab si dokter bedah tersebut baru saja menghilangkan nyawa pasiennya akibat kecerobohannya. Ia kemudian sangat mengutuk kematian, sebab ia tak memberikan kesempatan sedikitpun untuk mengulur waktunya. Keduannya kemudian menjalani kisah cinta yang romantis. Namun kisah tersebut berakhir miris. Ya, itulah sedikit cuplikan kisah dari City of Angle yang melankolis. Yang tak jauh beda dengan nasib negeri nano nano ini.
Jika dalam film City of Angle, malaikat kematian dapat menegosiasi nyawa seorang dokter bedah sebab ada faktor cinta maka di negeri segala luka ini masyarakat hanya mendapati foktor bullying yang di perankan oleh aparat perwakilan rakyat atau pejabat pemerintahannya. Kita hanya butuh cinta yang hakiki dari penduduk negeri ini bukan bullying atau penghianatan yang di selimuti angan-angan yang muluk.
Saya tahu sebagian mereka pernah mencicipi bangku kuliah semasa hidupnya. Pastinya mereka juga mengalami kondisi kacau balau 1998 negeri ini semasa kepemimpinan Soeharto. Dan sebagian besar mereka juga adalah pelopor, penggerak demo masa kejayaan mahasiswa tersebut dengan keangkuhan-keangkuan mereka dalam mengkritik kebijakan pemerintah. Tapi apa yang telah mereka lontarkan sekarang hanya menjadi buih yang ditiup angin entah kemana pergi. Semua hanya dapat mengheningkan cipta masing-masing.
Apalagi dengan adanya Pendidikan Karakter yang akhir-akhir ini di galakkan, pastinya generasi bangsa kita akan menjadi semakin sadar diri dengan kebutuhan bangsanya akan pemimpin yang adil, arif dan bijaksana, bukan pemimpin yang makmur tapi rakyatnya jadi jamur. Dan lagi, bukan hanya masyarakat saja yang menjadi sasaran program tersebut, tapi juga para petinggi kita wajib berpendidikan karakter.
Selasa, 08 Oktober 2013
Kemben Kumaimah
Sebuah surat datang atas nama
seseorang. Ia sangat mengenalnya. Dengan pita warna sebagai pengikat emosinya.
Kali ini pita itu berwarna biru.
10 Oktober 1965- Mak,
kau tak akan percaya jika nanti kuceritakan padamu. Kau tahu Jendral Borneo? Ia
sangat baik padaku. Kemarin ia mengenalkanku pada para jendral Batalion, yang
pernah kau ceritakan. Mereka masih sama seperti dulu. Masih genit. Padahal
mereka sudah agak lapuk. Mak, meski waktu memisahkan kita teramat jauh, namun
aku tetap menjaga apa yang pernah dulu kau sarankan padaku. Aku selalu ingat saat
kau kali pertama memakaikanku kemben. Aku sempat brutal. Tapi kau lebih brutal dari padaku. Dan akhirnya kau
berhasil memasangnya juga di perut mungilku. Kau bilang karena dengan itu akan
menjaga keseimbangan tubuhku. Kau bilang, biar aku tak segendut gajah bengkak. Haha..
jadi tergelitik untuk mengingatnya. Dan yang terakhir, karena akan merawat
keperawananku. Yang pertama dan yang kedua masih dapat aku pahami, mak. Namun yang
terakhir sedikit aku meraba-raba artinya. Hem, bukannya semua perempuan itu
melakukan hal semacam itu baik gadis maupun janda. Tapi entah, zaman telah
menelannya. Sekarang ada semacam istilah lain yaitu singlet atau semacam you
can see. Namun aku baru menyadari bahwa hal itu adalah keberuntunganku untuk
saat ini. Ia membawaku pada para jendral. Tampaknya ini bukan hanya untuk
dirimu saja, Mak, namun juga untuk diriku. Sebentar lagi kepayahan akan
terbayar, Mak. Bersabarlah.
Terkasihmu, Kumaimah.
***
Di sudut kamar, belaian angin
menyeringai sebagian debu yang masih terlelap oleh bayangan senja. Putaran
kemben memudar bersama bayangan waktu. Menikmati setiap untaian yang tergiring
lepas. Derak jam berusaha untuk menganggu sepi. Namun sepertinya sudah
terlanjur untuk memulangkan alfa dari saat terjaga. Tepatnya 10 tahun yang
lalu.
“menjadi baik, bukan berarti harus
berdekatan dengan orang yang kita kasihi, nak. Kau akan tahu alasannya mengapa
mentari tak sedekat ini denganmu?” kata Mak seraya mengepalkan tangan dan
menempelkanya di jidat Kumaimah.
“apakah Bapak tahu, apa yang kita akan
lakukan, Mak? Semoga ia bahagia” dengan nada parau ia berusaha membujuk dirinya
untuk tetap tegar. Mak, mengelus namun pandanganya lepas tertuju pada sebuah
pintu di depannya. Menerka-nerka segala kemungkinan yang akan terjadi.
Hati siapa yang tak terpukul saat
melihat tragedy pembunuhan. Terlebih itu adalah seorang yang kita cintai. Ya,
waktu itu Kumaimah masih kelas 5 SR. Tepat dari sepulang sekolah. Ia mendengar
keributan di gubuk samping sekolahnya. Naluri bocahnya pun bekerja seperti
ingin menuntut panggilan dari rasa penasaran yang menghinggapinya. Langkah demi
langkah pun ia lakukan dengan sangat teliti dan hati-hati. Tinggal beberapa
langkah lagi, dan ia berusaha mengintip di sela-sela bilik gubuk yang berongga.
Ada banyak orang yang berseragam hijau-coklat dengan senjata lengkap. Tak paham
apa yang hendak mereka lakukan dengan seorang lelaki. Namun sorotan mata mereka
hendak menerkam terjang. Ia belum sempat tahu siapa mereka. Sampai pada akhirnya
ia akan tahu bahwa mereka adalah para TNI. Dan,,, Dhooorrrr!!! Peluru lepas
kendali. Tepat di jantung seorang lelaki. “siapa yang menyuruh menembaknya,
tolol?” desus salah satu mereka. “bukankah kita harus melenyapkan mereka dari
bumi ini?” timpal yang lain. “bodoh, sekiranya kita punya tawanan yang dapat di
mintai kabar.”
Mereka pun memutuskan meninggalkan
jasat orang tersebut. Tapi lamat-lamat masih terdengar suara debat mereka. meninggalkan
si mata-mata ulung. Sedang Kumaimah pun menjadi dingin dengan mata yang penuh
dengan terkaan dan kepastian dari apa yang di lihatnya.
“Bapak!” suara perih kaku yang
tertahan. Air mata pun tak mampu lagi terbendung.
***
Lipatan-lipatan Kemben jadi tak
sadarkan diri terkapar di lantai. Kumaimah memintalnya dalam sebuah gulungan
yang rapi. Agar sewaktu-waktu dapat dipakainya kembali. Sebab begitulah pesan
Mak. Begitu pula pinta Borneo. Seorang Jendral yang tak sengaja ia mengenalnya
di sebuah warung makan milik majikannya di ibu kota. Tampaknya ia selalu datang
berniat menjumpai Kumaimah. Dalam pertemuan itu, akhirnya menyisakan perasaan
simpati. Setelah Kumaimah melepas semua trauma masa lalunya. Namun bayanganya
masih tersimpan dalam-dalam. Tentang sejarah orang tua Kumaimah. Jendral Borneo
telah memberikannya rumah di bumi mariner. Alasanya ia sudah kelebihan rumah.
Itu adalah kado yang terindah bagi seukuran Dere seperti Kumaimah. Jendral
Bornoe rela memberikannya sepenuh hati. Sebab Kumaimah bukanlah seorang gajah
bengkak yang selalu menuntut tagihan belanja seperti istrinya. Biarpun hanya seorang
dere, Ia berbeda dengan dere-dere yang lain. Ia adalah orang yang setia pada
satu Ndoronya. Setiap acara Borneo selalu mengajak Kumaimah. Dan ia pun
akhirnya dikenalkan dengan kawan-kawan jendral. Mereka pun jadi akrab.
***
“aku sudah mengantarkan mereka,
Borneo. Seperti pintamu. Mereka agaknya terlelap selepas kudongengi tentang
Cuk, pahlawan favoritmu..” memandangi langit yang selalu berganti background.
Perkenalan Kumaimah dengan para
jendral itu lalu berakhir di sebuah sumur. Masih dengan kebaya dan kemben Mak-nya.
Dan sampai kapan pun ia selalu memakainya. 1 Oktober 1965 baru tersiar kabar
bahwa ada tujuh orang jendral mendekam di dalamnya. Dengan kondisi jasat yang
teramat sadis.
“dalam perang, jangan pernah sekalipun
melibatkan perasaan, sebab perang bukan persoalan emosi namun kehormatan,
bukankah itu yang selalu kau ajarkan padaku setiap malam, Borneo?” ia mengelus kepala
seorang jendral seolah mengelus seorang anak yang terbuai dalam pangkuan
ibunya. Bornoe tetap terlelap dengan pejaman
yang penuh dengan kepuasan. Sebab Kumaimah sudah terlampau pandai darinya. Namun
entah sampai kapan pejaman akan membuka tabir kepalsuan. Sekian…
Surabaya, 8 Oktober 2013
Jumat, 26 Juli 2013
Deorama Meena
Perjalanan
panjang seakan menyisakan banyak tenaga bagiku untuk semakin berkarya. Bukan sebuah
malapetaka jika seseorang berani berbuat dan menanggung resiko untuk pilihan
mereka hidup di bumi. Namun yang jelas kerja keras dan berusahalah yang akan
menuntun jalan kemana mereka akan pergi.
(AKU)
Aku cemburu
04/10/2012-23:41
Aku cemburu pada air mata yang jatuh membasahi liang pipimu yang lembut
dan gempal, sebab ku tak bisa menjarah diatasnya. Dan aku bukan airmatamu. Aku
air mata larasati.
Aku cemburu pada jepit rambutmu yang kian hari tampak bermacam bertenger
serupa kembang songgo siji, sebab ku
tak mampu menyela menutup ubanmu. Aku kejujuran
Aku cemburu pada lipstick menawan di bibirmu, merah saga serupa delima
meranum. Sebab tak sanggupku menoreh keretakan lafalmu. Karenaku kebenaran
Leksem
Sabtu, 8 sebtember
2012
ribuan bulan jadi menunggu
janji leksem-leksem ganjil
sempat terpahat maret lalu
bersama dengan seniman
dengannya bertafakur pada kalam
arti dan muhasabahku
rela terayun dalam bandul jam semesta
tapi kau punya tafsiran lain dari pada itu.
janji leksem-leksem ganjil
sempat terpahat maret lalu
bersama dengan seniman
dengannya bertafakur pada kalam
arti dan muhasabahku
rela terayun dalam bandul jam semesta
tapi kau punya tafsiran lain dari pada itu.
Bara
nil
senin, 11 September 2012
berkalam dengan riak Yamuna
saat senandung angin lamat-lamat
diperdengarkan
rintikkan hujan terluka jatuh
teracuhkan, dari atap-atap seng teyeng
gemericik melagu rindu dahaga
gemericik melagu rindu dahaga
hinggap melukai renungan Nil
tak berdaya menahan fosil-fosil perahu Nuh
dan angin semakin tak peduli
saat lafaz-lafaz menggaung dalam jilatan bara
dan mencari pusaran dari segala sudut
yalamlam ….
Kiblatku mengeliar, mengrong-rong bertandang
hingga tandus enggan mengeringkan tataan bumi
hingga tandus enggan mengeringkan tataan bumi
Angin baratpun tak bernafsu ingin pulang
nil sepi... alirnya melambai menali angkasa.
nil sepi... alirnya melambai menali angkasa.
"pulangkan saja ke asalku"
pintanya.
Burung maya
senin, 11 September 2012
kemana pergi burung-burung hutang nyanyian
pagi tadi
yang jua berisalah kelam tiba
kini hilang, pergi, menyelundup entah kemana
tinggal kutunya yang sangat garang mengunyah
yang jua berisalah kelam tiba
kini hilang, pergi, menyelundup entah kemana
tinggal kutunya yang sangat garang mengunyah
separuh waktu yang renta enyah berpulang ke
haribanya
mereka bergelayut pada bulu-bulu detik
berkeliar di ujung gerimis tipis
dalam maya mereka bertwit-twit
dan melupa pada kidung agung sang perempuan
rupanya ia berlari membawa semburat senja.
hingga semua jadi menunggu fajar tiba
berlari aku ada.
bersemedi dalam raga.
bernyanyi pada sepi.
<pinggiran waktu>
Aku hari ini
12 September 2012
aku hari ini adalah kepompong, bersembunyi sementara
waktu saat semua berpaling menyincing mata.
aku hari ini adalah bulan sabit, senyum tipis terpancar menunggu kapan jadi purnama.
aku hari ini adalah kantil, menanti mekar saat fajar tiba.
aku hari ini adalah bulan sabit, senyum tipis terpancar menunggu kapan jadi purnama.
aku hari ini adalah kantil, menanti mekar saat fajar tiba.
Purnama melankolis
Minggu, 21 oktober
2012 (22.35)
seteguk cairan purnama melankolis.
bersamanya berlayar dalam cangkir di lautan bir.
semesta pun sakau.
apa yang bisa dilakukan malam.
logika pun terkapar dalam persangka. Lenyap. Dramatis.
namun kepergian menyisakan tarian pada bibir
bersamanya berlayar dalam cangkir di lautan bir.
semesta pun sakau.
apa yang bisa dilakukan malam.
logika pun terkapar dalam persangka. Lenyap. Dramatis.
namun kepergian menyisakan tarian pada bibir
yang melarikan anak-anak bumi putra.
kaulah jadi penawar raga-raga mereka.
kelakar hitam nan bening jadi penuntunmu
kaulah jadi penawar raga-raga mereka.
kelakar hitam nan bening jadi penuntunmu
di beranda perempuan-perempuan bertudung melempar kata
menampar dari sisi gelapnya
menamai setiap pelarian-pelarian rindu dalam tiap malamnya.
Basah, purnama jadi melankolis
menampar dari sisi gelapnya
menamai setiap pelarian-pelarian rindu dalam tiap malamnya.
Basah, purnama jadi melankolis
Janin mata
senin, 22 Oktober 2012
terlahiran
janin-janin mata.
Bertumbuh,
merangkak, menjelajahi bukit meranum.
Hadirnya terluput
pada lebah yang terkatung di kuncup bunga menunggu rekah. melunturkan sari pati mahkota raja. Raja mencari kedelai sebagai pengganti mahkota.
ia mencari
jalannya. jelajahi mayangkara.
Bibir kita pun bertemu pada
mangkuk pengail dalam diam nafas yang terkantuk.
sebab masa lalu
takkan pernah berniat merindumu. lantas kau bertarung asa.
Penginosen
Minggu,03 November 2012
malam jadi
penginosen.., mak
seperti balita
kencing sembarangan
dicelana. lantas
emak tersenyum pasi.
dia melarikan
kediamannya.
gelisah angin
membawa bau-baumu
seperti kemarau
menyuluk hujan
akupun mendekap
dalam
<icikiwir>
Selasa, 06
November 2012
Kabarnya tuyul sekarang bertanduk
tanduknya kian
berat.
mencari semerah
darah yang menggemaskan.
pada para pelari
onak di atas sukma bumi
kemana pelana kuda
berlari? yang jua bernafsu pada peluhnya.
"silahkan
rajami tubuhmu, biar lekat dalam nikmat karena dosa"
kelak akan kukabarkan.
bila ia sudah masak dan meranum.
petiklah dan nikmati sesukamu.
selama hari bukan kemudian.
(2012)
Kepada angin. Yang telah mengisi Malam agar dapat
memeluk dalam nikmat yang aneh. Disini, telah terkabarkan pada branda purnama, ada malaikat yang menyerupai
manusia datang dengan membawa secawan tinta. Katanya, untuk melukis pagi,
karena yang ia tahu hanya malam. tapi kenapa ia menginginkannya? Malampun larut
bersama mimpi seorang gadis yang bermata senja.
Rupanya gadis tersebut tertidur sesaat setelah ia membaca cerita Novalis dan mencoba memimpikannya, bayang bunga biru yang sendu. “bagaimana bila kau mimpi di surga dan menemukan bunga” kata filsuf
tersebut.
“Akan kutemukan untukmu”, kata gadis bermata senja itu.
(2012)
ia datang dengan atas nama UBLEK.
dengan pekat yang merambat pada bau-bauan malam
tapi aku tak sendiri menikmati
ada kelinci,
kucing
juga anjing
dalam kelam mereka berdiskusi, katanya ingin bertukar makan.
namun mereka berkoalisi dengan UBLEK dan menjadi bayangan
manusia.
Senin, 22 juli 2013
andai kematian
itu dapat di peluk, akan kudekapnya lebih erat dan hangat. hingga nafasnya dan
nafasku bertemu, menyembul bagai uap bumii kembali kelaut.
Sabtu,
20 juli 2013
aku telah begitu banyak berpuisi, hingga aku brwujud puisi itu sendiri.
orang yang melihat diriku meminta puisi dariku
(teruntuk chairil)
19 juli 2013
beregam pengabdian yang diberikan anak pada
orang tuanya salah satunya menebus
dosa orang tuanya dengan air mata. kau tau air mata tak dapat
bicara. tapi ia punya
banyak kata.
16 Juli 2013
pukul 14:11
Kulihat awan
sedang terbungkus dengan sinar kuning.
Saat itu Kau dan aku tegak berdiri memandang lepas samudra hindia yang berkawin dengan awan. Lantas kita menertawakan
katung perahu yang di permainkan sang ombak. Dan kita mencandai
kerang-kerang yang akan kita
tangkap sebagai santapan sore itu. Kau telah mengajariku cara menangkap kerang dengan benar. Dengan memperdengarkan gesekan kerang-kerang yang sudah
kita dapat pada calon kerang yang akan kita tangkap. (hahaha) Maaf, waktu itu aku menertawaimu, aku benar-benar geli dengan
kelakuanmu waktu itu. Pasalnya
cara itu sungguh aneh. Mana ada kerang yang dapat mendengar puji-pujian, karena memang kerang tak memiliki
kuping. Namun kali itu aku patuh sepatuh anak kecil
dan sedikit mengernyitkan dahi. Maaf, tuhan kali ini aku sedang tolol.
mungkin rasa ini tuna daya
dan cinta adalah persakitan yang melenyapkan dosa
apakah perlu kata atau lidah, karena hati telah menyatukanya.
dan cinta adalah persakitan yang melenyapkan dosa
apakah perlu kata atau lidah, karena hati telah menyatukanya.
Aku merasa bahwa diriku
benar-benar hilang
aku tak menemukan diriku pada
ingatan
hampa di dalam botol suci
Dandelion
19 Januari 2013 pukul 16:54
kabari
aku sekali lagi. Sin
tentang
dandelion kecil yang tersamat,
pada
celah reranting.
ini,
aku sedang membawa bayangannya
bahwa
badai sebentar lagi datang
membawanya
berhijrah pada lajur yang disuka
kelak,
Sin
sendu
akan jadi sadiwara angin
luka
akan jadi penawar stepa
itu,
masihku menunggu ribu kebenaran lain.
tentang
angin yang membawanya lari.
mungkin
pada stepa ia mengabdi
mungkin
pada angin ia mengingkari
juga
pada surya ia mempelajari
sekali
terang redub pada ciuman angin
tertitipkanlah
seribu bekas
yang
menjelma lautan janin
dan
kembali angin semakin gemas
menelurkanya
pada kepala bumi
agar menutupi
kebotakan
merindu
pada musik alam pertama.
(Dia)
Sebentar lagi…
Surabaya,
25 Desember 2011
Kapan.
Peluru kan menembus pada epidermis
safana,
Biar mengguncang, biar tak ada arti
keindahan.
Hanya akan terlibat pada pengagum
selain tuhan.
Constatinopel sudah terlampau dalam
ringkuk efel,
Pelabuhan akan segera berpindah…
Sebentar lagi…
Bawa orang tuamu, kekasihMu, dalam
tangan keabadian
Hanya itu…
Untuk mereka yang bahagia dalam
kesedihan dunia.
Aku Waktu Lalu
Surabaya,
25 Desember 2011
Benar apa kata mu.
Aku tak sedang bermimpi.
Saat kau cerita bahwa ditanganMu,
tidak ada lagi pengemis kematian,
Selain para pejuang yang mati di medan
perang.
Aku telah ada sebelum kalian pergi.
Aku adalah waktu lampau.
Dulu hampir hilang bersama peluru yang
menembus kulitmu.
Aku waktu lalu
Pergi untuk riwayat semesta,
pulang untuk para pengembira.
Adakah yang mau bergembira untukKu?
Tiga Kuncup
Kamboja
Surabaya,
29 Februari 2012 (14:19)
Mereka telah
pergi…
Hinggap pada
buliran nokta.
Kemenyan
melebur rindu kematian
Mengundang kala
ikut bergurau
Tanpa kata…
Tiga kuncup
kamboja,
Yang telantar di atas aspal.
Keriput dan tak
semringah.
Menghafal nomer
sepatu
Yang baru saja
menginjaknya…
40…
(matikan lampu!
pertautan waktu, membuat mereka bernomer absurd)
Surabaya,
25 Desember 2011
Kami datang
bersama angin timur
Melewati hampir
semua kepala-kepala manusia yang rela kami hinggapi
Bahkan kami
pernah melewati hati mereka.
Tapi aku tak
abadi di daftar riwayatnya…
Hom Pim Paa…
29/02/12-14:32
Hom.. Pim.. Paaa…
Menang jadi arang,
Kalah jadi abu…
Siang itu aku bertemu dengan kambing
diselasar gubuk bertingkat. Kambing jantan yang lemah saat aku meminta untuk
segera mencoret namanya di punggungku. Seloroh matanya kaku, dan memang tak
bertulang besi. Berbeda dengan politikus-politikus Negara. Hanya bergerak bila
ada magnet koalisi terkutuk yang penuh dengan lembar-lembar palsu. Sudahlah
memang itu bukan masalah yang perlu ditutupi. Malah sekarang sudah berlebeling
rahasia umum. Kembali pada kambing
jantan. Aku berusaha mendekat, ia mengacuhkanku dan bermain sesukanya dengan
sayap-sayap laron yang menempel di gedek. Laron yang malang, dua hari yang lalu
dengan tragis menabrakan dirinya di dinding gubuk. Dan diakhir riwayatnya ia
harus rela melihat sayapnya teraniaya oleh kambing jantan yang duduk bersamaku.
Dibayang. Tempat kami bercengkrama dengan waktu.
Maria, itu aku!
Rabu, 24 Juli 2013
Kau tahu?,
Kadang kala aku ingin menjadi sebuah gunung yang
menutup segala rasa emosi sampai pada waktu memanggilnya
Kadang kala aku ingin jadi angin yang menyisir lembut
anak rambutmu
Kadang kala aku ingin jadi cermin yang kau padankan
sepanjang waktu
Kadang kala aku ingin jadi udara yang kau hirup
dalam-dalam setiap paginya
Kadang kala aku ingin jadi buku harianmu yang kau
toreh keluh kesahmu
Aku mengutuk diri pada tanaman pakis yang kau sirami
setiap pagi
Mengutuki telegram yang kau pencet-pencet tubuhnya
Mengutuki rambut yang selalu kau plintir-plitir setiap
kau mengeniti surya
Mengutuki lagu yang kau suka
Entahlah
Aku jadi tak suka
Kau ajari aku jadi pendendam, Maria.
mendendami hal yang kau suka
kau adalah segala bunyian kerinduan
kau tahu, diam-diam aku telah belajar jadi gunung,
angin, cermin, udara dan buku harianmu
bahkan aku telah bersembunyi dalam mimpmimu.
“maaf telah membuatmu bosan bercinta denganku”.
(untuknya)
Pernah
suatu senja berkata padaku, tentang pohon-pohon yang tafakur melihatmu, angin
telah mengirimkan suluk, semakin dalam keliang dengarmu, seperti
nyanyian-nyanyian investigasi saat perang dunia II. Kau lantas beroase dalam kegamangan.
Selagi
kau masih disini, memandang sang pemilik wajah kotak dengan mata belang yang
mengajakku berdiskusi malam tadi, perlahan menyimpan sejuta candu. Dan aku pun
semakin sakau berpuisi.
Kau
angin dan aku awan. Berjalan beriring, berirama dalam nokta semesta. Pula aku
kirimkan secawan gerimis, nikamatilah disetiap nampan pagi. Agar semakin basah.
Hingga embun pun turun tiba-tiba. Menengelamkanmu dan juga diriku…
Kita
bukan hidup kesendirian dalam virtual. Masih ada waktu dalam temuan malam kelabu
seperti kemarin. Aku juga dirimu. Dalam secangkir kopi yang sama.
Kamar
manis kontrakan Qonitat, 23 Juni 2012
Teruntuk
Butet, sastrawan Pacitan yang sedang gamang terhadap lain hatinya. J
Langganan:
Postingan (Atom)