Oleh
Minatus
Sholihah
Jika kau menanyakan apa peranku dalam cerita ini, aku adalah seorang
pendatang baru dalam kehidupannya. Tapi aku hanya ingin menceritakan kisah si
Dandelion kecil yang kabarnya tersamat. Meskipun dia bukan tokoh dalam sejarah
tapi aku ingin memajang namanya dalam-dalam di hatiku. Dialah Sinay, seseorang
yang menginspirasi dalam perjalanan hidupku. Sepuluh tahun yang lalu ia
menceritakan banyak hal tentang kehidupannya padaku. Entah ada angin apa,
tiba-tiba teman sekamarku ingin bercerita panjang lebar denganku, bukankah
sebelumnya ia begitu tertutup denganku? Dalam keseharian saja, jarang sekali
aku menjumpainya mendekam dalam kamar. Aku hanya bisa bertemu dengannya pada
saat tidur, itupun kalau aku terbangun pada dini hari. Memang kita dalam
Universitas yang sama, namun kita beda jurusan. Dan aku juga tak begitu tahu
banyak perihal duniannya. Namun kali itu beda, ia begitu akrab, begitu hangat
seperti kita terlahir dari rahim yang sama. Ia mulai menata dan merajutnya
dalam kisah yang menakjubkan. Mungkin jika Tuhan masih tak menginjinkan
kesempatan itu datang, pasti aku tak akan jadi seperti sekarang ini. Duduk di
meja tugas. Seharusnya kaulah yang pantas duduk di sini kawan. Bukan aku,
karena aku tak pantas menerimanya. Kemarin adalah hari ini, esok ataupun lusa
kau akan tetap sama dalam benak kami. Namanya masih terlalu harum sampai pada
mereka yang sempat melupakannya. Dia juga yang mengenalnya sebagai pria aneh. Entahlah,
lupa macam apa yang akhirnya mempertemukannya pada dunianya saat ini.
Aku
melemparkan bayangannya pada tas dan sepatu yang masih bertengger dimeja
tugasnya.
***
“Bob.
Tahukah, jika angin dapat menjadikan sesuatu itu beranak pinak? Atau kepada
surya yang menjadikannya kian serupanya”
“Apa yang
kau bicarakan kawan? Aku tak mengerti apa maksudmu.”
“Maaf, mungkin
separuh jiwaku masih tertinggal di tempat lain, aku baru saja dari semak-semak
belakang kampus dan menemukan ladang bunga dandelion. Aku suka memandangi
mereka sepulang dari kelas.”
“Kau ini
ada-ada saja.”
“Iya karena
kau tak tahu, dasar kau serangga. haha. Ya sudahlah… ternyata kau masih kawan
tidurku. Dan kau tetap seperi serangga yang selalu mendenggukan agar semakin
ramai saja malam. Tadi aku baru saja ketemu dengan pak Darmin. Ada yang aneh
dari perkataannya.
***
“Bagaimana
mereka melupakan sesesuatu yang tidak akan pernah melupakan mereka?” kata pak
Darmin yang kemudian membuyarkan lamunanku.
“Apa maksud
bapak” ucapku setelah menata nafas karena terkaget tadi. Aku sedikit bimbang
dengan ucapan pak Darmin, sebenarnya apa yang ingin disampaikannya kepadaku.
Melupakan sesuatu yang tak kan pernah melupakan? Akukah? Juga termasuk dia kah?
Aku jadi penasaran apa yang dimaksudkannya.
Pak Darmin adalah lelaki tua petugas kebersihan kampus yang berumur sekitar
50 tahun. Pribadi yang baik dan santun kepada semua mahasiswa membuat pak
Darmin dikenal akrab dikalangan teman-teman dan para dosen. Dia termasuk
petugas yang sudah sepuh dibanding dengan yang lainnya. Satu yang membuatku
bangga kepadanya, sebagai figur ayah yang baik bagi anaknya, dia hanya ingin
anaknya sukses biarpun dirinya mengorbankan separuh usia untuk mereka. Dan itu
membuatku tersentuh untuk melanjutkannya.
Pak Darmin menemukanku di belakang kelas, tempatku membuang segala
kepenatan dunia. Di sana kita bercerita banyak. Tentang diriku, keluargaku, dan
kehidupan yang aku jalani. Sebagai seorang aktifis pastinya seseorang akan
membutuhkan tempat untuk melepas kepenatannya dan tempat peraduan, bahkan
tempat pengasinganpun agar dapat berfikir bersih terkait dengan segala
permasalahan yang ada. Pak Darminlah yang kemudian menjadi temanku. Bahkan
kadang ia juga menjadi ayahku karena petuahnya yang membuatku menunggu hari
esok tiba agar bertemu dengannya. Seolah mengajakku berfikir tentang hidup. Dan
aku suka tantangannya.
***
Tak akan kubiarkan diriku terhanyut dalam sinar surya sore yang sedikit
manja mengatupkan hari. Seperti biasa setelahku beradu dengan lamunan di
belakang kelas, aku pun kembali pulang dengan membawa rasa penasaranku dan bergegas untuk pergi ke restoran.
Putih: “Ada baiknya badanmu untuk mereka. Karena
mereka membutuhanmu. Bukankah selama ini, kau ingin menjadi yang terbaik untuk
mereka?” tiba-tiba suara muncul dari seberang kegelisahan.
Hitam:“Jangan terlalu baik kepada mereka. Bukankah kau
sendiri harus peduli pada dirimu sendiri? Lihatlah hampir separuh hidupmu untuk
keperluan mereka. Akankah itu adil?” suara itu datang lagi memberi
persepsi baru tentang keadilan. Keadilan yang bagaimana? Ah. Aku masih terus
jalan dan sambi lalu melintasi warung-warung yang ngerumpi tak jelas. “ Hai Sin,
bagaimana persiapan acaranya, apa sudah matang?” Tanya temanku seorganisasi.
“owh, ya, pasti. Semua sudah aku brefing
untuk itu. Ehm, maaf aku ada urusan lain, besok kalau ada waktu kita bisa
ngomong. oke ” jawabku dengan pasti dan sedikit terburu-buru karena ada suatu
tempat yang ingin aku kunjungi sekarang juga. Lantas aku pergi meninggalkannya
yang belum sempat membalas. Hanya dengan isyarat jari tangannya, seolah memberi
jawaban Oke dan dia juga telah memaklumi untuk itu.
Di
perempatan jalan sebelum memasuki kampus, ada sebuah gang sempit. Hanya bisa
dimasuki satu orang saja. Di ujung gang
itu terlihat sebuah rumah, di sana aku melihat puluhan anak beragam umur.
Sebagian ada yang masih berseragam SD, SMP, dan SMA. Tampaknya mereka baru saja
pulang dari sekolah. Biasan cahaya kudapatkan pada keceriaan wajah mereka. Namun ada sebagian yang berbaju biasa aku
memandang dengan cukup iba.
“Wah, mas
Sin datang! Hore-hore..!” sorak mereka menyambutku. “Bagaimana kegiatan
kampusnya mas? Seru nggak? Apakah di sana ada banyak ilmuannya mas?” kata Agus
yang baru aku temukan seminggu yang lalu di jalan, ia berusia 10 tahun dan baru
masuk sekolah. Mungkin ia sedang teropsesi ingin mengetahui banyak tentang
ilmuan-ilmuan yang kata gurunya bertempatkan dikampus. Haha bisa-bisa saja
bocah kecil ini. Memang anak-anak itu masih lugu. Selugu aku ketika masih
kecil. Tapi bukan berarti sekarang aku tidak mengalaminya. Ah, anak kecil kamu
tahu apa tentang banyak ilmuan di kampus.
“Bisa-bisa
saja. Haha. Nih, aku bawakan buku untuk kalian. Kalian baca ya, mas mau ke Ibuk
dulu” jawabku dengan memainkan rambut mereka, anak-anak yang sudah aku anggap
sebagai adikku sendiri terlebih sebagai anakku sendiri. Lantas aku pergi ke
tempat rumah lindung mereka. Di sana aku melihat bu Nisa sedang merapikan
tanaman di bale-bale rumahnya. Bu Nisa adalah perempuan yang sangat baik,
berjiwa tangguh dan welas asih. Ia mampu menghidupi 50 orang yang sekarang
berada dirumahnya. Saat kali pertama bertemu dengannya ia berusia 50 mungkin
sekarang sudah berumur 51 lebih sedikit lebih tua. Kelopak matanya yang sayup
dan mengahangatkan membuatku melihat sosok ibuku di wajah bu Nisa. Maka kucium
tangannya sebagai salam hormatku padanya. Begilah yang selalu aku lakukan
ketika aku datang menemuinya. Maka ia juga tak segan mencium keningku. dan air
mata tak sengaja jatuh membasahi pipi saat kali pertama bertemu dengannya. Aku
datang dalam kehidupannya setelah dua tahun kepergian anaknya. Mungkin ia
sangat merindukan sekali sosok anaknya yang tiba-tiba mendahuluinya. Sebagai
orang tua ia sangat terpukul. Biar bagaimanapun ia adalah orang pertama
membesarkannya. Dan disusul suaminya yang juga meninggalkanya karena serangan
jantung. Ia akhirnya hidup sendiri. Maka aku tahu salah satu faktor mengapa
panti asuhan ini berdiri megah di gang ini.
“Buk, niki kulo tase nggadah sak meten,
monggo nyuwun ditrimo nggeh” aku berusaha mengimbangi logat jawanya. Meski
sedikit aku belajar menghormatinya layaknya ibuku sendiri.
“Cong la sampean wes cukup to? ojo dipekso. loro
rogo loro jiwo. sa’ake awak”
“Mboten nopo-nopo buk. kulo tase sehat.
njenengan mpon sehat buk?, obat seng kulo tumbasaku mpun dinginum?”
“sampun
cong, wes gak usah kawatir ngususi ibuk, ibuk wes enek seng ngrumat. Loh
delo’en toh. Cah-cah phodho seger buger berkat pean cung” sambil menunjuk
anak-anak yang sedang bermain di lapangan depan rumahnya. “nggeh pon, kulo
pamet bade tindak mantuk” jawabku sambil menium tangannya dan beranjak pergi
meninggalkan panti.
“mas Sin.
Kapan-kapan aku ajak ke kampusmu ya mas” celoteh anak-anak yang mengerti
gelagat kepulanganku. “ya. Pasti. Kalian yang pinter belajarnya” samba lalu dan
melambaikan tangan pada mereka.
Bayangan
mereka telah jauh.
Hitam: “kadangkala mengasihi membuat orang lain merasa
nyaman, hingga tidurlah ia dan lebih parahnya lagi tak akan bangun-bangun”. “siapa
yang bertanya sekarang?” tanyaku dan aku diam
Putih: “kasihanilah mereka, karena berkasih akan
menjadikan mereka bahagia. Dan Pak Darmin sangat bahagia” harus
kuapakan diriku sekarang. Entah darimana asal muasal suara itu. Semakin lama
semakin jelas tak tentu. Bukankah ini hidupku? Hidup yang harus aku jalani
sendiri dan kelak jika tiba waktuku juga.
Tiba-tiba perasaan ingin kembali ke kampus. Entahlah, apakah ada kesalahan
dengan urat sarafku yang seolah memberi komando untuk datang kesana. Hari
semakin sore tapi aku hanya ingin bercengkrama di balkon kampus. Membayangkan
langit yang kian senja. Senja karena selalu dipandangi manusia. Mungkin ia
sedang malu dan ingin cepat-cepat menutup katup matanya hingga malam jadi
lekat. Warna kuning pelan-pelan merayap hangat menyentuh tubuhku. Membuat
nyaman untuk memejamkan sementara dari sang cerewet dunia. Karena memang dunia
sudah renta. Diam dan mematung hingga tubuhku terpenuhi sudah cahaya kuning.
“bagaimana mereka
melupakan sesuatu yang tak akan pernah melupakan mereka?” bayang-bayang kata
itu kian mengintrogasi pikiranku. Seakan melilitkan kata-kata dalam sel-sel
otakku. Memainkan segala pusaran waktu dan memalingkan segala permasalahan yang
ada didunia.
Hitam: “bukankah duniamu bukan sepenuhnya milikmu,
bukankah kau ingin menikmati dirimu menjadi dirimu yang spenuhnya dirimu” ya memang
ini bukan dunia milikku. Ini miliki mereka. Dan kau!
Putih: “bukankah kau sendiri ingin menjadi lebih baik
untuk dirimu agar dapat memberikan yang baik untuk mereka, jadi bukan berarti
dirimu hanya untuk dirimu” mereka juga perlu aku tapi apa peduli mereka. Ah,
siapa kamu? Siapa mereka? Siapa aku?
[Hai, bukankah kau ingin sekali agar aku ini diriku.
Yah ini aku yang sepenuhnya diriku, maka jangan kau dekte aku saja. Dan kau
ingin agar aku peduli mereka. Yah, itu sudah dan apa pedulimu tentang aku. Maka
tak usahlah kau peduli. Aku bisa menjaganya. Hanya kalian yang susah sekali
berdiskusi. Lekas berdamai atau pergi dalam kehidupanku…]
Hitam-Putih: “Terus untuk apa kita ada, bukankah juga
untuk menjadi kacungmu. Paham kita berbeda. Dan kau memaksa mendamaikan kita?
Putih tak selamanya bisa menjadi hitam dan hitam tak akan selamanya bisa
menjadi putih. Mungkin abu-abu. Apakah kau mengaharapkan jadi abu-abu? Tapi kami
tak suka warna itu. Ya sudahlah, biarkan kita berdamai dengan cara terbaik kami”.
Sesuatu apa
yang tak akan pernah melupakan? Mungkinkah waktu? Tapi ia selalu
mengingatkanku. Apakah sesuatu yang akan menjadi tiada? Bukankah dia kematian?
Yah mungkin. Akhirnya waktu juga masih mengingatkanku untuk membuka mata karena
hari memang sudah larut, aku termanggu menahan segala jawaban yang bagiku belum
pasti.
“apakah
sudah menemukan jawabannya?” aku tersentak dalam sepi pada suara yang tiba-tiba
datang. Bergema memalingkan semua persepsi-persepsi yang belum pasti.
“owh, pak
Darmin. Mengagetkan saja. Em, aku masih ragu akan jawabannya pak. Em, apakah
kematian yang bapak maksud?” seraya menata detak jantungku dan kembali
meraba-raba respon apa yang mau terlontar dari ucap pak Damri.
“lantas apa
yang sudah kau dapatkan dengan itu? Jadilah seperti dandelion, bunga kecil yang
mereka acuhkan itu. Dan kelak kau akan menemukan arti yang sebenarnya dalam
kehidupanmu. Ingat semua yang tercipta tidak akan pernah bisa lari dari
kebermanfaatan dirinya” lagi-lagi aku terjerambat dengan ucapannya. Seperti
harga mati aku menerimanya dan terjerumu dalam rumus-rumus yang kian hari
semakin menerorku. “em, pak.. a..” ia sudah melangkah lebih jauh dari
hadapanku. Ah, pak Darmin, sudahlah dia selalu menghilah saatku ingin berusaha
menanyakan jawabannya itu. Maka aku kembali mengambil alih diriku pergi ke
Restoran untuk bekerja. Hampir seluruh biaya hidupku bertumpu pada hasil jerih
payah kerja paruh waktu. Yang paling pokok pertama adalah biaya kuliah. Aku
sudah berkomitmen pada orang tua bahwa aku mampu untuk hidup mandiri, maka akan
aku tunjukan pada mereka bahwa aku bisa mengurusi hidupku tanpa mereka. Karena
mereka selalu saja protektif padaku sekarang adalah waktunya untukku mengambil
alih diriku. Paling pokok kedua adalah jatah untuk bu Nisa dan adik-adik di
panti. Dan sisanya untuk tabungan dan jatah makanku. Haha.. paling tidak aku
dapat membahagiakan mereka dengan tempat duduk dan ruangan yang bersih agar
mereka dapat belajar dengan tenang. Dapatkah aku membangun sebuah sekolah untuk
mereka, Bob?
***
kabari aku sekali lagi. Sin
tentang dandelion kecil yang tersamat,
pada celah reranting.
ini, aku sedang membawa bayangannya
bahwa badai sebentar lagi datang
membawanya berhijrah pada lajur yang disuka
kelak, Sin
sendu akan jadi sadiwara angin
luka akan jadi penawar stepa
tentang dandelion kecil yang tersamat,
pada celah reranting.
ini, aku sedang membawa bayangannya
bahwa badai sebentar lagi datang
membawanya berhijrah pada lajur yang disuka
kelak, Sin
sendu akan jadi sadiwara angin
luka akan jadi penawar stepa
itu, masihku menunggu ribu kebenaran lain.
tentang angin yang membawanya lari.
mungkin pada stepa ia mengabdi
mungkin pada angin ia mengingkari
juga pada surya ia mempelajari
sekali terang redub pada ciuman angin
tertitipkanlah seribu bekas
yang menjelma lautan janin
dan kembali angin semakin gemas
menelurkanya pada kepala bumi
agar menutupi kebotakan
merindu pada musik alam pertama.
tentang angin yang membawanya lari.
mungkin pada stepa ia mengabdi
mungkin pada angin ia mengingkari
juga pada surya ia mempelajari
sekali terang redub pada ciuman angin
tertitipkanlah seribu bekas
yang menjelma lautan janin
dan kembali angin semakin gemas
menelurkanya pada kepala bumi
agar menutupi kebotakan
merindu pada musik alam pertama.
Sin, apakah kau masih ingat kisah dandelion kecil yang sempat kau ceritakan
padaku kapan hari? Sekarang ia terbang entah kemana. Mewarnai rimbun yang liar
dari pandangan manusia namun tidak bagi para serangga. Karena serangga bisa
hidup didalamnya. Dan aku temukan kau kembali disini Sin, engkaulah Dandelion
kecil itu, yang kemarin kabarnya tersemat. Namun hari ini akan tumbuh bersama
sinar mentari peradaban. Sudahku penuhi permintaanmu. Membuatkan sekolah dari
hasil tabunganmu selama kau bekerja paruh waktu dulu. Kau sudah bekerja keras
Sin, semoga kau akan tersenyum disana.
–sekian-
Biodata
Minatus Sholihah,
lahir
pada 22 Februari 1992, di Desa Pantura, Dengok Kandangsemangkon, Paciran,
Lamongan. Ia masih berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Surabaya
(Unesa), angkatan 2010. Aktif di Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Sekretaris Tabloid Gema Unesa, anggota majalah Widiawara, anggota Komunitas
Rabo Sore (KRS), dan Bulan Purnama (kumpulan teater fakultas). Beberapa tulisannya
pernah termuat di tabloit Gema Unesa. Fb:
Meena Sang Surya, Blog: minasangsurya.blogspot.com, dan E-mail: s.minatus@gmail.com