Senin, 31 Desember 2012

Dandelion



Oleh
Minatus Sholihah

Jika kau menanyakan apa peranku dalam cerita ini, aku adalah seorang pendatang baru dalam kehidupannya. Tapi aku hanya ingin menceritakan kisah si Dandelion kecil yang kabarnya tersamat. Meskipun dia bukan tokoh dalam sejarah tapi aku ingin memajang namanya dalam-dalam di hatiku. Dialah Sinay, seseorang yang menginspirasi dalam perjalanan hidupku. Sepuluh tahun yang lalu ia menceritakan banyak hal tentang kehidupannya padaku. Entah ada angin apa, tiba-tiba teman sekamarku ingin bercerita panjang lebar denganku, bukankah sebelumnya ia begitu tertutup denganku? Dalam keseharian saja, jarang sekali aku menjumpainya mendekam dalam kamar. Aku hanya bisa bertemu dengannya pada saat tidur, itupun kalau aku terbangun pada dini hari. Memang kita dalam Universitas yang sama, namun kita beda jurusan. Dan aku juga tak begitu tahu banyak perihal duniannya. Namun kali itu beda, ia begitu akrab, begitu hangat seperti kita terlahir dari rahim yang sama. Ia mulai menata dan merajutnya dalam kisah yang menakjubkan. Mungkin jika Tuhan masih tak menginjinkan kesempatan itu datang, pasti aku tak akan jadi seperti sekarang ini. Duduk di meja tugas. Seharusnya kaulah yang pantas duduk di sini kawan. Bukan aku, karena aku tak pantas menerimanya. Kemarin adalah hari ini, esok ataupun lusa kau akan tetap sama dalam benak kami. Namanya masih terlalu harum sampai pada mereka yang sempat melupakannya. Dia juga yang mengenalnya sebagai pria aneh. Entahlah, lupa macam apa yang akhirnya mempertemukannya pada dunianya saat ini.
Aku melemparkan bayangannya pada tas dan sepatu yang masih bertengger dimeja tugasnya.

***
“Bob. Tahukah, jika angin dapat menjadikan sesuatu itu beranak pinak? Atau kepada surya yang menjadikannya kian serupanya”
“Apa yang kau bicarakan kawan? Aku tak mengerti apa maksudmu.”
“Maaf, mungkin separuh jiwaku masih tertinggal di tempat lain, aku baru saja dari semak-semak belakang kampus dan menemukan ladang bunga dandelion. Aku suka memandangi mereka sepulang dari kelas.”
“Kau ini ada-ada saja.”
“Iya karena kau tak tahu, dasar kau serangga. haha. Ya sudahlah… ternyata kau masih kawan tidurku. Dan kau tetap seperi serangga yang selalu mendenggukan agar semakin ramai saja malam. Tadi aku baru saja ketemu dengan pak Darmin. Ada yang aneh dari perkataannya.

***
“Bagaimana mereka melupakan sesesuatu yang tidak akan pernah melupakan mereka?” kata pak Darmin yang kemudian membuyarkan lamunanku.
“Apa maksud bapak” ucapku setelah menata nafas karena terkaget tadi. Aku sedikit bimbang dengan ucapan pak Darmin, sebenarnya apa yang ingin disampaikannya kepadaku. Melupakan sesuatu yang tak kan pernah melupakan? Akukah? Juga termasuk dia kah? Aku jadi penasaran apa yang dimaksudkannya.
Pak Darmin adalah lelaki tua petugas kebersihan kampus yang berumur sekitar 50 tahun. Pribadi yang baik dan santun kepada semua mahasiswa membuat pak Darmin dikenal akrab dikalangan teman-teman dan para dosen. Dia termasuk petugas yang sudah sepuh dibanding dengan yang lainnya. Satu yang membuatku bangga kepadanya, sebagai figur ayah yang baik bagi anaknya, dia hanya ingin anaknya sukses biarpun dirinya mengorbankan separuh usia untuk mereka. Dan itu membuatku tersentuh untuk melanjutkannya.
Pak Darmin menemukanku di belakang kelas, tempatku membuang segala kepenatan dunia. Di sana kita bercerita banyak. Tentang diriku, keluargaku, dan kehidupan yang aku jalani. Sebagai seorang aktifis pastinya seseorang akan membutuhkan tempat untuk melepas kepenatannya dan tempat peraduan, bahkan tempat pengasinganpun agar dapat berfikir bersih terkait dengan segala permasalahan yang ada. Pak Darminlah yang kemudian menjadi temanku. Bahkan kadang ia juga menjadi ayahku karena petuahnya yang membuatku menunggu hari esok tiba agar bertemu dengannya. Seolah mengajakku berfikir tentang hidup. Dan aku suka tantangannya.

***
Tak akan kubiarkan diriku terhanyut dalam sinar surya sore yang sedikit manja mengatupkan hari. Seperti biasa setelahku beradu dengan lamunan di belakang kelas, aku pun kembali pulang dengan membawa rasa penasaranku  dan bergegas untuk pergi ke restoran.
Putih: “Ada baiknya badanmu untuk mereka. Karena mereka membutuhanmu. Bukankah selama ini, kau ingin menjadi yang terbaik untuk mereka?” tiba-tiba suara muncul dari seberang kegelisahan.
Hitam:“Jangan terlalu baik kepada mereka. Bukankah kau sendiri harus peduli pada dirimu sendiri? Lihatlah hampir separuh hidupmu untuk keperluan mereka. Akankah itu adil?” suara itu datang lagi memberi persepsi baru tentang keadilan. Keadilan yang bagaimana? Ah. Aku masih terus jalan dan sambi lalu melintasi warung-warung yang ngerumpi tak jelas. “ Hai Sin, bagaimana persiapan acaranya, apa sudah matang?” Tanya temanku seorganisasi. “owh, ya, pasti. Semua sudah aku brefing untuk itu. Ehm, maaf aku ada urusan lain, besok kalau ada waktu kita bisa ngomong. oke ” jawabku dengan pasti dan sedikit terburu-buru karena ada suatu tempat yang ingin aku kunjungi sekarang juga. Lantas aku pergi meninggalkannya yang belum sempat membalas. Hanya dengan isyarat jari tangannya, seolah memberi jawaban Oke dan dia juga telah memaklumi untuk itu. 
Di perempatan jalan sebelum memasuki kampus, ada sebuah gang sempit. Hanya bisa dimasuki satu orang saja. Di  ujung gang itu terlihat sebuah rumah, di sana aku melihat puluhan anak beragam umur. Sebagian ada yang masih berseragam SD, SMP, dan SMA. Tampaknya mereka baru saja pulang dari sekolah. Biasan cahaya kudapatkan pada keceriaan wajah mereka.  Namun ada sebagian yang berbaju biasa aku memandang dengan cukup iba.
“Wah, mas Sin datang! Hore-hore..!” sorak mereka menyambutku. “Bagaimana kegiatan kampusnya mas? Seru nggak? Apakah di sana ada banyak ilmuannya mas?” kata Agus yang baru aku temukan seminggu yang lalu di jalan, ia berusia 10 tahun dan baru masuk sekolah. Mungkin ia sedang teropsesi ingin mengetahui banyak tentang ilmuan-ilmuan yang kata gurunya bertempatkan dikampus. Haha bisa-bisa saja bocah kecil ini. Memang anak-anak itu masih lugu. Selugu aku ketika masih kecil. Tapi bukan berarti sekarang aku tidak mengalaminya. Ah, anak kecil kamu tahu apa tentang banyak ilmuan di kampus. 
“Bisa-bisa saja. Haha. Nih, aku bawakan buku untuk kalian. Kalian baca ya, mas mau ke Ibuk dulu” jawabku dengan memainkan rambut mereka, anak-anak yang sudah aku anggap sebagai adikku sendiri terlebih sebagai anakku sendiri. Lantas aku pergi ke tempat rumah lindung mereka. Di sana aku melihat bu Nisa sedang merapikan tanaman di bale-bale rumahnya. Bu Nisa adalah perempuan yang sangat baik, berjiwa tangguh dan welas asih. Ia mampu menghidupi 50 orang yang sekarang berada dirumahnya. Saat kali pertama bertemu dengannya ia berusia 50 mungkin sekarang sudah berumur 51 lebih sedikit lebih tua. Kelopak matanya yang sayup dan mengahangatkan membuatku melihat sosok ibuku di wajah bu Nisa. Maka kucium tangannya sebagai salam hormatku padanya. Begilah yang selalu aku lakukan ketika aku datang menemuinya. Maka ia juga tak segan mencium keningku. dan air mata tak sengaja jatuh membasahi pipi saat kali pertama bertemu dengannya. Aku datang dalam kehidupannya setelah dua tahun kepergian anaknya. Mungkin ia sangat merindukan sekali sosok anaknya yang tiba-tiba mendahuluinya. Sebagai orang tua ia sangat terpukul. Biar bagaimanapun ia adalah orang pertama membesarkannya. Dan disusul suaminya yang juga meninggalkanya karena serangan jantung. Ia akhirnya hidup sendiri. Maka aku tahu salah satu faktor mengapa panti asuhan ini berdiri megah di gang ini.
Buk, niki kulo tase nggadah sak meten, monggo nyuwun ditrimo nggeh” aku berusaha mengimbangi logat jawanya. Meski sedikit aku belajar menghormatinya layaknya ibuku sendiri.
Cong la sampean wes cukup to? ojo dipekso. loro rogo loro jiwo. sa’ake awak
Mboten nopo-nopo buk. kulo tase sehat. njenengan mpon sehat buk?, obat seng kulo tumbasaku mpun dinginum?”
“sampun cong, wes gak usah kawatir ngususi ibuk, ibuk wes enek seng ngrumat. Loh delo’en toh. Cah-cah phodho seger buger berkat pean cung” sambil menunjuk anak-anak yang sedang bermain di lapangan depan rumahnya. “nggeh pon, kulo pamet bade tindak mantuk” jawabku sambil menium tangannya dan beranjak pergi meninggalkan panti.
“mas Sin. Kapan-kapan aku ajak ke kampusmu ya mas” celoteh anak-anak yang mengerti gelagat kepulanganku. “ya. Pasti. Kalian yang pinter belajarnya” samba lalu dan melambaikan tangan pada mereka.
Bayangan mereka telah jauh.
Hitam: “kadangkala mengasihi membuat orang lain merasa nyaman, hingga tidurlah ia dan lebih parahnya lagi tak akan bangun-bangun”. “siapa yang bertanya sekarang?” tanyaku dan aku diam
Putih: “kasihanilah mereka, karena berkasih akan menjadikan mereka bahagia. Dan Pak Darmin sangat bahagia” harus kuapakan diriku sekarang. Entah darimana asal muasal suara itu. Semakin lama semakin jelas tak tentu. Bukankah ini hidupku? Hidup yang harus aku jalani sendiri dan kelak jika tiba waktuku juga.
Tiba-tiba perasaan ingin kembali ke kampus. Entahlah, apakah ada kesalahan dengan urat sarafku yang seolah memberi komando untuk datang kesana. Hari semakin sore tapi aku hanya ingin bercengkrama di balkon kampus. Membayangkan langit yang kian senja. Senja karena selalu dipandangi manusia. Mungkin ia sedang malu dan ingin cepat-cepat menutup katup matanya hingga malam jadi lekat. Warna kuning pelan-pelan merayap hangat menyentuh tubuhku. Membuat nyaman untuk memejamkan sementara dari sang cerewet dunia. Karena memang dunia sudah renta. Diam dan mematung hingga tubuhku terpenuhi sudah cahaya kuning.
“bagaimana mereka melupakan sesuatu yang tak akan pernah melupakan mereka?” bayang-bayang kata itu kian mengintrogasi pikiranku. Seakan melilitkan kata-kata dalam sel-sel otakku. Memainkan segala pusaran waktu dan memalingkan segala permasalahan yang ada didunia.
Hitam: “bukankah duniamu bukan sepenuhnya milikmu, bukankah kau ingin menikmati dirimu menjadi dirimu yang spenuhnya dirimu” ya memang ini bukan dunia milikku. Ini miliki mereka. Dan kau!
Putih: “bukankah kau sendiri ingin menjadi lebih baik untuk dirimu agar dapat memberikan yang baik untuk mereka, jadi bukan berarti dirimu hanya untuk dirimu” mereka juga perlu aku tapi apa peduli mereka. Ah, siapa kamu? Siapa mereka? Siapa aku?
[Hai, bukankah kau ingin sekali agar aku ini diriku. Yah ini aku yang sepenuhnya diriku, maka jangan kau dekte aku saja. Dan kau ingin agar aku peduli mereka. Yah, itu sudah dan apa pedulimu tentang aku. Maka tak usahlah kau peduli. Aku bisa menjaganya. Hanya kalian yang susah sekali berdiskusi. Lekas berdamai atau pergi dalam kehidupanku…]
Hitam-Putih: “Terus untuk apa kita ada, bukankah juga untuk menjadi kacungmu. Paham kita berbeda. Dan kau memaksa mendamaikan kita? Putih tak selamanya bisa menjadi hitam dan hitam tak akan selamanya bisa menjadi putih. Mungkin abu-abu. Apakah kau mengaharapkan jadi abu-abu? Tapi kami tak suka warna itu. Ya sudahlah, biarkan kita berdamai dengan cara terbaik kami”.
Sesuatu apa yang tak akan pernah melupakan? Mungkinkah waktu? Tapi ia selalu mengingatkanku. Apakah sesuatu yang akan menjadi tiada? Bukankah dia kematian? Yah mungkin. Akhirnya waktu juga masih mengingatkanku untuk membuka mata karena hari memang sudah larut, aku termanggu menahan segala jawaban yang bagiku belum pasti.
“apakah sudah menemukan jawabannya?” aku tersentak dalam sepi pada suara yang tiba-tiba datang. Bergema memalingkan semua persepsi-persepsi yang belum pasti.
“owh, pak Darmin. Mengagetkan saja. Em, aku masih ragu akan jawabannya pak. Em, apakah kematian yang bapak maksud?” seraya menata detak jantungku dan kembali meraba-raba respon apa yang mau terlontar dari ucap pak Damri.
“lantas apa yang sudah kau dapatkan dengan itu? Jadilah seperti dandelion, bunga kecil yang mereka acuhkan itu. Dan kelak kau akan menemukan arti yang sebenarnya dalam kehidupanmu. Ingat semua yang tercipta tidak akan pernah bisa lari dari kebermanfaatan dirinya” lagi-lagi aku terjerambat dengan ucapannya. Seperti harga mati aku menerimanya dan terjerumu dalam rumus-rumus yang kian hari semakin menerorku. “em, pak.. a..” ia sudah melangkah lebih jauh dari hadapanku. Ah, pak Darmin, sudahlah dia selalu menghilah saatku ingin berusaha menanyakan jawabannya itu. Maka aku kembali mengambil alih diriku pergi ke Restoran untuk bekerja. Hampir seluruh biaya hidupku bertumpu pada hasil jerih payah kerja paruh waktu. Yang paling pokok pertama adalah biaya kuliah. Aku sudah berkomitmen pada orang tua bahwa aku mampu untuk hidup mandiri, maka akan aku tunjukan pada mereka bahwa aku bisa mengurusi hidupku tanpa mereka. Karena mereka selalu saja protektif padaku sekarang adalah waktunya untukku mengambil alih diriku. Paling pokok kedua adalah jatah untuk bu Nisa dan adik-adik di panti. Dan sisanya untuk tabungan dan jatah makanku. Haha.. paling tidak aku dapat membahagiakan mereka dengan tempat duduk dan ruangan yang bersih agar mereka dapat belajar dengan tenang. Dapatkah aku membangun sebuah sekolah untuk mereka, Bob?
***

kabari aku sekali lagi. Sin
tentang dandelion kecil yang tersamat,
pada celah reranting.
ini, aku sedang membawa bayangannya
bahwa badai sebentar lagi datang
membawanya berhijrah pada lajur yang disuka
kelak, Sin

sendu akan jadi sadiwara angin
luka akan jadi penawar stepa
itu, masihku menunggu ribu kebenaran lain.
tentang angin yang membawanya lari.
mungkin pada stepa ia mengabdi
mungkin pada angin ia mengingkari
juga pada surya ia mempelajari

sekali terang redub pada ciuman angin
tertitipkanlah seribu bekas
yang menjelma lautan janin
dan kembali angin semakin gemas
menelurkanya pada kepala bumi
agar menutupi kebotakan
merindu pada musik alam pertama.

Sin, apakah kau masih ingat kisah dandelion kecil yang sempat kau ceritakan padaku kapan hari? Sekarang ia terbang entah kemana. Mewarnai rimbun yang liar dari pandangan manusia namun tidak bagi para serangga. Karena serangga bisa hidup didalamnya. Dan aku temukan kau kembali disini Sin, engkaulah Dandelion kecil itu, yang kemarin kabarnya tersemat. Namun hari ini akan tumbuh bersama sinar mentari peradaban. Sudahku penuhi permintaanmu. Membuatkan sekolah dari hasil tabunganmu selama kau bekerja paruh waktu dulu. Kau sudah bekerja keras Sin, semoga kau akan tersenyum disana.

 –sekian-

















Biodata

Minatus Sholihah, lahir pada 22 Februari 1992, di Desa Pantura, Dengok Kandangsemangkon, Paciran, Lamongan. Ia masih berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Surabaya (Unesa), angkatan 2010. Aktif di Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Sekretaris Tabloid Gema Unesa, anggota majalah Widiawara, anggota Komunitas Rabo Sore (KRS), dan Bulan Purnama (kumpulan teater fakultas). Beberapa tulisannya pernah termuat di tabloit Gema Unesa.  Fb: Meena Sang Surya, Blog: minasangsurya.blogspot.com, dan E-mail: s.minatus@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar