Perjalanan Padma Menuju Cinta
(Ia
bukan cinta tapi sesuatu yang menyaru menjadi cinta ) pada kumpulan puisi
Sukuntum Padma di Seberang Jendela karya Ririe Rengganis.
Oleh : Minatus Sholihah
Siapakah cinta?
Orang-orang
mencarinya
lalu tergelincir
kepada luka
di dalam luka kau
menulis puisi
hendak kemana cinta?
Entah mengapa saya
ingin menuliskan tentang cinta itu luka pada lembaran-lemabaran puisi bait yang
menjelma cinta. Ungkapan tersebut sebagai pengantar suguhan saat membaca
kumpulan puisi Bu Ririe Rengganis. Sekuntum
Padma di Seberang Jendela (SPSJ).
Lahir setelah kumpulan puisinya yang berjudul Biji Bunga Matahari. SPSJ hadir dengan nuansa melankolis manusia yang
tercipta karena cinta. Sebagaimana menurut Fira Basuki, pada sebuah ungkapan dalam
novelnya yang berjudul “Rojak” bahwa kehidupan adalah Rojak. Ada asam, manis,
pahit, asin , dan pedas. Begitu pula pada penyair dalam SPSJ seolah menghadirkan
rasa-rasa itu menjadi dalam tiga jendela, yaitu jendela tentang luka, tentang
rindu dan tentang cinta. Namun bagaimana proses penyair dalam fenomena bentukan
tersebut?
Antara Padma dengan Cinta
Saya
tertarik pada arti padma, kemudian saya mencoba mencarinya di KBBI. Padma
adalah sebuah nama bunga teratai. Memiliki istilah lotus atau
bunga seroja dengan nama latinnya Nelumbo
nucifera. Bunga
ini memiliki keistimewaan bagi umat Hindu dan Budha. Dalam kehidupannya bunga
teratai memiliki tiga komposisi kehidupan, yaitu lumpur (sebagai tempat pijakan
akarnya), air (sebagai tempat tinggalnya sebatang tangkai), dan udara (sebagai
bersemayamnya daun dan kelopak bunga).
Pada
akar Padma tertancap kuat dalam lumpur, hingga air tak mampu menghanyutkanya,
maka ia akan tenang. Lumpur adalah kotoran, liat dan menggeliat. Lumpur adalah
bagian dari proses manusia itu diciptakan sebelum ia berisikan Ruh dari sang
Khalik. Lumpur semacam dosa yang membuat Adam turun di muka bumi sebagai
manusia. Dan itulah sejarah mahluk tercipta yang datang ke dunia dengan
terjatuh karena nafsu, hasrat bujuk rayu. Namun perjanjian sebagai manusia
belum selesai di situ sampai ia mampu melewati setiap ujian dan nilai yang
tertinggi adalah kemampuan bertahan.
Padma
adalah kata klasik, atau dapat dikatakan itu adalah sebuah majas Aristokrasi,
yaitu pengambilan kata yang sudah usang. Hal tersebut sengaja dipilih penyair
sebagai tumpuan dalam bait-bait puisinya. Meski klasik, namun itu yang
menjadikan SPSJ memiliki irama dalam setiap diksinya. Seperti pada penggalan
puisi Sekuntum Padma di Seberang Jendela, sebagai berikut:
suatu
pagi,
kulihat
sekuntum padma
di
seberang jendela
melambai
diam-diam
menebar
aroma cinta
dalam
desir angin
ke
penjuru semesta
indah
sayang,
padma itu milik tetangga.
Pilihan
diksi, pada kata Padma sebagai istilah dari bunga teratai menyimpan sebuah peristiwa
kehidupan (perjalanan). Padma menjadi filosofi harapan penilaian kehidupan bagi
penyair. Terdapat keindahan yang terjadi ada pada kata padma yang disandingkan dengan kata jendela.
Padma adalah tanaman yang istimewa. Meski ia hidup di lingkungan kotor, namun
ia tetap indah dinikmati dan sampai kapanpun ia akan tetap bernama padma(teratai),
walaupun ia di tempat yang kotor, tapi ia dapat menaungi hewan-hewan atau serangga-serangga
yang ada di sekelilingnya serta dapat memperindah sesuatu yang buruk. Sedangkan
jendela adalah lanskap dunia yang memiliki batasan, semacam teleskop dan
teropong untuk menafsirkan dunia. Pada bait tersebut, Aku lirik berharap akan
ada sebuah pencerahan atau sesuatu yang baik dari pengalamanya menerawang
dunia. Segala yang ada di dunia pastinya memiliki keterkaitan erat dengan hukum
alam dan hukum manusia. Sosial, ekonomi dan materi selalu mengelayuti
perjalanan manusia sebagai mahluk yang istimewa.
(Cinta
itu seperi luka atau luka yang serupa cinta?)
Manusia
adalah mahluk yang suka berfantasi. Maka manusia suka berkhayal yang tinggi
dengan menciptakan apa yang ia suka dalam benak dan fikirannya. Bahkan juga
berani menirukan tuhan. Aku lirik seolah menciptakan dunia harapan dari sebuah
impian itu dengan mengintip padma. Namun
ternyata bukan ia saja yang dapat menikmatinya dan ia tak berhak untuk
memiliki. Dalam kaitannya dengan bait, tampaknya dunia itu lebih mengerucut
lagi pada mahluk, entah apa yang dimaksudkan penyair terkait hal tersebut. Hal
tersebut menjadi sebuah bakal percintaan yang terkesan menyakitkan.
Sayang, padma itu milik tetangga.
Pada
sekuntum padma, mengapa tidak dengan sekuncup padma atau sekuncup teratai,
setangkai padma atau setangkai teratai. Tampaknya penyair lebih suka dengan
bentukan kata klasik. Padma memiliki tafsiran sendiri bagi penyair. Seolah
penyair ingin mencoba menampilkan lanskap kenangan lama. Puisi pertama yang
berjudul “Perempuan Jatuh dari Surga”, mengingatkanku pada kisah Adam yang
jatuh karena sebab ingkar pada Tuhannya. Sebab hawa nafsu dan perempuan. Namun
pada bait ini makna itu sengaja dibalik. Perempuan itu jatuh karena pilihannya
sendiri untuk jadi manusia. (puisi hal:
03)
Dapat
di tafsirkan bahwa kumpulan puisi SPSJ adalah kumpulan perjalanan menuju
per(ke)baikan aku lirik. Pada setiap jendela terdapat penggambaran atau
tayangan yang berusaha untuk menampilkan masa lalu. Seperti pada puisi “Ketika
Aku Ingin Berkirim Pesan Padamu” sebagai berikut:
Sebab
hanya padamu,
Aku temukan segala yang pernah
hilang.
Lantas,
salahkah bila sekian rindu ini terajut
Hanya
padamu?
….
Bait
tersebut menggambarkan kerahasiaan yang sudah lama terpendam serta ada
penyesalan yang membuat aku lirik mengadakan yang tiada. Aku temukan segala yang pernah hilang . Itu adalah impian masa lalu
yang pernah terajut namun pada akhirnya aku lirik sendirilah yang kemudian
mempertanyakan kelayakannya sebagai manusia yang pernah membayangkanya,
menganggankan sebuah harapan.
Pada
batangnya yang menerobos sampai ke langit air, menandakan kekukuhan. Air lahir
bersama riak dan arus. Di sanalah kehidupan bermuara pada sebuah pengujian.
Melewati arus dan riak yang menjadikan manusia semakin dewasa atas perjajian
lama yang dibuatnya bersama Ruh dengan Tuhan. seperti pada puisi berikut:
Telah
begitu lama
Aku
tak berdoa
Dengan
cara yang biasa
Diajarkan
ibu padaku.
Sebab
aku ingin bertemu tuhan
Dengan
caraku sendiri.
Tafsiran
bait ini saya jadi teringat pada cover buku SPSJ. Saya menggambarkan bahwa
dibalik gambar tersebut ada seorang perempuan yang sedang mengintip padma
seraya berdoa memunguti kelopak rindu agar ia dapat memilikinya. Namun padma
menunduk dengan segala kerendahanya.
Pada
daun dan kelopak bunga yang membentang ke langit air hingga ia bersua dengan
udara dan cahaya, menjadikan bukti bahwa keindahan itu berasal dari sebuah hasil
perjuangan panjang. Ialah cinta dalam jendela tentang cinta. Ternyata dengan
mencinta aku lirik telah menjajali semua rasa menjadi biasa hingga ia berhak
merayakannya. Seperti pada kutipan “Lelaki Air” sebagai berikutberikut:
Aku merayakan bersama
teman-temanku dalam sebuah pesta di tepi sungai, pesta perayaan kedwasaan…
Itulah
harapan tertinggi yang terciptakan dari sebuah untaian-untaian melankolis pada
bait-baitnya terdahulu tentang luka dan tentang rindu. Ia semakin terbiasa menjalani
sebuah pahit manis kehidupan. Air hadir dengan segala riak dan ombak.
Setelah
tiga perjalanan tersebut lahirlah sebuah cinta. Namun ada sesuatu lain yang
menyarunya menjadi cinta. Harapan-harapan seringkali dihadirkan oleh aku lirik
lewat padma, purnama, air, dan dengan tuhan. Kebanyakan Puisi Bu Ririe menikkan
beratkan pada subjek seorang perempuan dengan dampaan-dampaannya. Misalnya
seperti: Perempuan Yang Jatuh Dari Surga, Bukan Kisah Cindrelela, Perempuan
Yang Mencintai Hujan, Lelaki Air dan yang lainnya. Tenyata sebenarnya cinta itu
hadir karena luka. Karena luka itu yang sebenarnya cinta dan cinta-luka itu
sama saja.
NB: Ini essai perdana sekaligus bahan penyajian saya, yang saya buat untuk acara bedah buku Bu Ririe Rengganis, Dosen Sastra FBS Unesa (14/02/2013) di Studio Sastra T4.0303 dengan di hadiri sastrawan Jawa Timur asal Madura, Timur Budi Raja. Dengan gaya pembahasannya yang renyah, membuat saya sebagai pemula merasa tergerak untuk semakin belajar darinya untuk menjadi penyaji yang baik. Semoga di lain waktu akan ada kesempatan yang baik untuk saya bertatap muka dan berdebat Apresiasi Sastra dengannya dan sastrawan-sastrawan lainnya.
NB: Ini essai perdana sekaligus bahan penyajian saya, yang saya buat untuk acara bedah buku Bu Ririe Rengganis, Dosen Sastra FBS Unesa (14/02/2013) di Studio Sastra T4.0303 dengan di hadiri sastrawan Jawa Timur asal Madura, Timur Budi Raja. Dengan gaya pembahasannya yang renyah, membuat saya sebagai pemula merasa tergerak untuk semakin belajar darinya untuk menjadi penyaji yang baik. Semoga di lain waktu akan ada kesempatan yang baik untuk saya bertatap muka dan berdebat Apresiasi Sastra dengannya dan sastrawan-sastrawan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar