Selasa, 11 November 2014

Perempuan dengan butiran pasir



Menatap surya sepagi ini, seolah aku telah menjadi bagian dari mereka yang pernah sakit, yang pernah pilu dalam penghambaan nestapa.

Hari yang riang itu, hari yang jauh. hari dimana aku mendengar suaramu, potongan janjimu, dan, hari dimana kita dapat tertawa dengan mudahnya.semenjak itu, kita memulai pengembaraan kita, pengembaraan dalam ilusi sang surya. Hingga kemudian di tengah angin yang mengamuk, kita dipertemukan kembali. dalam tangisan yang bisu dan air mata yang jatuh. Membasahi tikar samudra.  
“apakah mereka hanya akan membasahi padang pasir sang waktu saja?”
lalu tangan sang surya datang, mengukir sesuatu dalam hati kita, yang berdetak begitu cepat, begitu tiba-tiba. kemudian dua sayap malaikat turun, melayang indah, dalam tamaram senja. Sinarnya membuatku semakin kuning, mengalahkan langit sore waktu itu.
dan kini, tangan itu masih terus membolak-balikkan jam pasir kecil. lantas surya berlalu begitu cepat, saat kita berdiri di tengah deru ombak yang membiru.
tiada yang lebih menepati janji, disbanding surya dan hari esok. Kehidupan selalu tampak aneh, seaneh hal yang aku percaya sampai saat ini. “apakah kau tahu, surya tak sedekat ini dengan jidatmu?”, begitulah ucap ibu. Bayangan ibu akan selalu tampak nyata, dengan menawarkan beban janjiku pada hari esok. Tapi aku tak peduli, sejauh mana hari esok akan menelantarkanku. Memang surya tampak jauh, dan akan selalu jauh. Namun kehadirannya akan membuatku semakin dekat, sedekat kepalan ibu dijidatku.

Jika kita tidak ingin terkalahkan, jadilah burung dan terbanglah ke angkasa. Jika kita ingin menjadi kuat, jadilah seperti bunga, yang setia menanti musim semi. Kita akan menjadi satu-satunya penyubur padang pasir sang waktu, setelah ratapan dan tebaran air mata itu jatuh, bukan begitu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar