Menatap
surya sepagi ini, seolah aku telah menjadi bagian dari mereka yang pernah
sakit, yang pernah pilu dalam penghambaan nestapa.
Hari
yang riang itu, hari yang jauh. hari dimana aku mendengar suaramu, potongan
janjimu, dan, hari dimana kita dapat tertawa dengan mudahnya.semenjak itu, kita
memulai pengembaraan kita, pengembaraan dalam ilusi sang surya. Hingga kemudian
di tengah angin yang mengamuk, kita dipertemukan kembali. dalam tangisan yang
bisu dan air mata yang jatuh. Membasahi tikar samudra.
“apakah mereka hanya
akan membasahi padang pasir sang waktu saja?”
lalu
tangan sang surya datang, mengukir sesuatu dalam hati kita, yang berdetak begitu
cepat, begitu tiba-tiba. kemudian dua sayap malaikat turun, melayang indah, dalam
tamaram senja. Sinarnya membuatku semakin kuning, mengalahkan langit sore waktu
itu.
dan
kini, tangan itu masih terus membolak-balikkan jam pasir kecil. lantas surya
berlalu begitu cepat, saat kita berdiri di tengah deru ombak yang membiru.
tiada
yang lebih menepati janji, disbanding surya dan hari esok. Kehidupan selalu
tampak aneh, seaneh hal yang aku percaya sampai saat ini. “apakah
kau tahu, surya tak sedekat ini dengan jidatmu?”, begitulah ucap ibu. Bayangan ibu akan selalu tampak nyata, dengan
menawarkan beban janjiku pada hari esok. Tapi aku tak peduli, sejauh mana hari
esok akan menelantarkanku. Memang surya tampak jauh, dan akan selalu jauh.
Namun kehadirannya akan membuatku semakin dekat, sedekat kepalan ibu dijidatku.
Jika
kita tidak ingin terkalahkan, jadilah burung dan terbanglah ke angkasa. Jika
kita ingin menjadi kuat, jadilah seperti bunga, yang setia menanti musim semi. Kita
akan menjadi satu-satunya penyubur padang pasir sang waktu, setelah ratapan dan
tebaran air mata itu jatuh, bukan begitu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar