Dialog Pahlawan
Oleh
Minatus Sholihah
Seperti biasa, A. Yani dan Suderman mulai
gencar beraktifitas pada pagi dini hari. Mereka gagah mengawasi ibu kota. Bersama
dengan penjaganya yang selalu memberikan semangat disepanjang jalan. Mereka
lantas mencatat dan mengapsen orang-orang yang melintang. Seharusnya ia
mengerutu, karena setiap hari sampai sepanjang perjalanannya ia berdiri mereka selalu
bersanding dengan polemik social. Kadang ia menemukan pelacur yang sedang
bersembunyi di semak taman kota, sewaktu satpol PP Surabaya sedang merazia guna
pembersihan kota pada malam hari. “Aku kasihan bung, mereka menjarakan diri
mereka sendiri karena metropolitan yang katanya lebih kejam dari pada ibu tiri”
kata Suderman. “menjarakan apa maksudnya? mereka itu diamankan. Kamu itu sok
perhatian. Selama kita masih punya UU. Semuanya akan aman” kata A. Yani. “tapi bok yo dikasih perhatian jo di glendeng trus dicerca sama seperti
kita setiap hari”.
Kadang pula mereka merekam kriminal-kriminal
lainnya, sampai ia harus rela karena tak sedikit orang mengencinginya karena memang
jarang ada WC umum. Itulah yang melatar belakangi sumber bau seperti bau istri
mereka yang baru bangun tidur. Setiap tahunnya mereka juga terpaksa mencicipi
darah-darah pemuda yang juga tak sengaja tumpah karena selalu bermain nakal
melintang. Berbeda dengan pertumpahan pada zamanya. Pertumpahan yang berapi-api
dan penghalal darah pun dilegalkan demi
bangsa. karena tidak jarang mereka mencerca dan memaki. begitu datang
dan pergi. Seolah jaelangkung. Mereka tak ada rasa. Aku punya hati, gumamnya.
Bukan belati yang biasa mengorek-ngorek hati mereka hingga bocor dan entah
kemana pergi isinya.
“bung kenapa kita masih saja dicerca,
padahal kita sudah berkorban untuk bangsa ini” kata Sudirman
“ya. Seharusnya yang di cerca itu,
pembuat jalan ini, karena mereka belum izin pada kita” timpal A. Yani
“siapa? Deandles ta?” lanjut Sudirman
“sebagai pahlawan yang baik, aku
merasa gagal melayani mereka. Namaku bisa tercoreng didaftar barisan istimewa”
kata A. Yani
“ istimewa opone? Kita hanya pejuang,
bukan pembenah. Pembenah itu ada pada pikiran manusia-manusia baru. Kita
manusia lama bung. Istimewa itu tak penting,” Suderman menolak pengissstimewaan
itu.
“lain kali yang membangun itu orang
kita, yang tahu kondisi kita, bukan mereka yang berkepala putih, itung-itung
kan bisa ngitit” tambahnya.
“tapi jangan seperti Suramadu yang
selalu ingin tumbal kepala manusia”
“yang pantas jadi tumbal itu mereka
yang korup, biar bersih bangsa ini dan bisa bangun jalan lurus, bukan jalan
seperti obat nyamuk bakar”
“kon iso ae”
“uang itu nikmat yang gagal mengutuk
seseorang yang lagi seneng”
“ha.. ha.. ha..” keduannya tertawa
La…la..la..la
“Aku
tak habis pikir, mengapa bila berkorban perlu ada pelumas agar keinginan dapat terwujut.
seperti antek-antek kemasyarakan yang berkorban untuk omongan nakalnya itu
didepan pubik saling umbar sampai mulut mereka meniren. Namun toh akhirnya
nakal juga. Kepuasanlah yang paling dicari. Tak juga dalam urusan politik,
keluarga sampai kepribadi. Hingga apapun rela ia rajam dengan uang dan waktu.
Aku hanya ingin buat mereka bernyanyi, melupakan sejenak tentang uang…”
Kenapa tidak kepala mereka saja yang
dicari.!!!
Surabaya, 03 November 2012-23:45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar